Gugatan resmi diajukan ke Pengadilan Zug, Swiss, pada 31 Januari 2023 setelah proses konsiliasi pada Oktober 2022 gagal mencapai kesepakatan. Dalam sidang perdana yang digelar akhir Agustus 2025, warga menuntut kompensasi sekitar 3.600 franc Swiss per orang atau setara Rp74 juta.
Lebih dari sekadar ganti rugi, mereka juga mendesak Holcim mengurangi emisinya secara drastis, yakni 43 persen pada 2030 dan 69 persen pada 2040, sesuai target Persetujuan Paris.
Kisah Pulau Pari menggugah perhatian dunia. Dalam sebuah konferensi internasional di Bonn pada Juli 2024, Asmania tampil mewakili komunitasnya. Ia menyuarakan kebutuhan mendesak akan dana adaptasi serta mekanisme loss and damage bagi negara-negara kepulauan yang rentan.
“Kami hanya ingin tetap tinggal di rumah kami, bukan menjadi pengungsi iklim,” katanya, dikutip dari laporan Walhi.
Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan, kasus ini sekaligus menjadi cermin betapa seriusnya ancaman bagi pulau-pulau kecil. Data Walhi menyebut sedikitnya enam pulau kecil di Kepulauan Seribu sudah hilang: Pulau Ubi Besar, Ubi Kecil, Talak, Nyamuk Besar, Dakun, dan Air Kecil. Jika tren kenaikan muka laut terus berlanjut, diperkirakan 23 hingga 110 pulau di wilayah itu bisa hilang sebelum 2045.
Pulau Pari sendiri sudah kehilangan 11 persen daratannya akibat abrasi dan kenaikan permukaan air laut.
Meski gugatan ini belum tentu dimenangkan, keberanian warga Pulau Pari telah menjadi preseden penting. CNN Indonesia melaporkan bahwa pengadilan Swiss memutuskan menerima kasus ini berdasarkan hukum setempat, sebuah kemajuan berarti dalam perjuangan hukum iklim global. Jika berhasil, jalan bagi komunitas lain di belahan dunia selatan terbuka lebar untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi besar penyumbang emisi.
Bagi Asmania dan warga Pulau Pari, perjuangan ini bukan sekadar soal uang ganti rugi. Ini adalah pertaruhan masa depan, agar tanah kelahiran mereka tidak sekadar tinggal nama di peta. Di tengah derasnya arus globalisasi dan kerakusan industri, suara kecil dari sebuah pulau mungil di Kepulauan Seribu kini menggema hingga ke ruang sidang di Swiss. Suara itu sederhana, tapi penuh makna: menolak tenggelam.***
Artikel Terkait
Menolak Tenggelam: Suara dari Pulau Pari untuk Keadilan Iklim
Perempuan Pulau Pari: Penjaga Laut, Penjaga Kehidupan
GreenFaith Indonesia Raih PAN Award, Menggema Sebagai Pejuang Lingkungan Terdepan
GreenFaith Indonesia dan GPIB Mengikat Komitmen Iman untuk Bumi
Geliat Eco Spiritualitas dalam Menjawab Krisis Lingkungan