HUKAMANEWS GreenFaith - Isu transisi energi perlahan masuk ke ruang-ruang diskusi keagamaan. Tidak hanya dibicarakan dalam forum akademik atau ranah kebijakan, tetapi juga mulai menjadi bagian dari materi dakwah. Sebuah kajian daring bertajuk Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan, yang diselenggarakan oleh Mosaic, GreenFaith Indonesia, dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada akhir Mei 2025, menjadi salah satu indikasi bahwa perubahan arah ini tengah berlangsung.
Ustadz Niki Alma Febriana Fauzi dari Majelis Tarjih menegaskan bahwa transisi energi tak cukup dimaknai sebagai pergantian sumber energi dari fosil ke energi terbarukan. “Seringkali kita lupa bahwa prosesnya justru lebih penting. Transisi yang adil menuntut partisipasi aktif masyarakat, termasuk komunitas adat, perempuan, dan kelompok rentan lainnya,” ujar Niki.
Konsep fikih energi yang diangkat dalam diskusi ini berangkat dari pemikiran bahwa keadilan dalam pemenuhan energi bukan sekadar aspek teknis, tetapi menyangkut dimensi sosial, lingkungan, hingga spiritual. Dalam konteks ini, pendekatan agama dinilai mampu menjembatani isu kompleks menjadi sesuatu yang lebih membumi.
Baca Juga: Premanisme Politik, Ancaman Nyata bagi Demokrasi
Menurut Elok F. Mutia dari Mosaic, masyarakat selama ini lebih sering diposisikan sebagai penerima manfaat program transisi energi. Padahal, mereka seharusnya dilibatkan sejak awal proses. “Kami melihat peran tokoh agama sangat strategis. Mereka dipercaya masyarakat, dan bisa menjadi penggerak untuk memperkuat pemahaman akan pentingnya keadilan energi,” ujarnya.
Kepercayaan terhadap pemuka agama sebagai penyampai pesan sosial bukan hal baru. Hasil riset Purpose dan artikel The Voice of the Ulama menunjukkan bahwa ulama masih menjadi pihak yang paling didengar dalam menyampaikan isu-isu penting, termasuk isu lingkungan.
Buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan yang diluncurkan hasil kerja sama antara GreenFaith, Majelis Tarjih, dan Mosaic, menjadi panduan awal untuk membumikan prinsip keadilan dalam pengelolaan energi. Parid Ridwanuddin dari GreenFaith menjelaskan, pemetaan potensi energi lokal harus menjadi langkah awal. “Kita tinggal di negeri dengan sinar matahari yang melimpah, potensi danau dan laut yang besar, namun belum dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan,” katanya.
Namun, potensi besar itu hanya bisa menjadi kekuatan bila ada kemauan politik dan kesadaran kolektif. Dalam hal ini, organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dapat mengambil peran lebih besar. Mulai dari advokasi kebijakan, pendidikan nonformal, hingga mendorong skema pembiayaan sosial seperti sedekah atau infak energi.
Baca Juga: Tragedi Tambang Gunung Kuda Cirebon Tewaskan 17 Orang hingga Jadi Sorotan Media Internasional
Pada tingkat individu, transisi energi bisa dimulai dari langkah kecil dan konkret—mengurangi konsumsi listrik, memilih perangkat hemat energi, hingga mendukung inisiatif energi terbarukan di lingkungan sekitar. Pendekatan ini membuka ruang bagi setiap orang untuk berkontribusi dalam menghadirkan keadilan iklim.
Pada akhirnya, isu energi bukan lagi sekadar domain insinyur atau ekonom. Ketika ulama, komunitas, dan masyarakat sipil mulai terlibat, arah transisi energi berkeadilan menjadi lebih terang. Ini bukan sekadar peralihan teknologi, melainkan juga transformasi cara pandang terhadap masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.***