HUKAMANEWS GreenFaith — Dunia menghadapi kenyataan pahit: suhu rata-rata global telah melampaui ambang batas 1,5 derajat Celsius selama hampir dua tahun berturut-turut. Ini bukan sekadar angka dalam laporan ilmiah, melainkan penanda semakin gentingnya krisis iklim yang mengancam seluruh umat manusia—terutama kelompok paling rentan yang selama ini paling sedikit berkontribusi terhadap pemanasan global.
Data terbaru dari Copernicus Climate Change Service (C3S) menunjukkan bahwa sejak Juli 2023 hingga April 2025, hampir setiap bulan mencatat suhu rata-rata yang melampaui 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Hanya Juli 2024 yang sedikit di bawah ambang itu, yakni 1,48 derajat.
Rekor ini dimulai pada Juli 2023, ketika untuk pertama kalinya suhu permukaan global melesat hingga 1,52 derajat. Dan sejak itu, lonjakan demi lonjakan terjadi, dengan anomali suhu bulanan yang bahkan mencapai 1,78 derajat.
Menurut ilmuwan iklim dari C3S, Rebecca Emerton, suhu ekstrem selama dua tahun ini belum berarti Perjanjian Paris 2015 resmi dilanggar. Perjanjian itu mengatur bahwa target baru dinyatakan gagal apabila suhu rata-rata global melebihi 1,5 derajat Celsius selama dua dekade penuh. Namun, Emerton memperingatkan bahwa jika tren pemanasan saat ini berlanjut, pelanggaran target tersebut hanya tinggal menunggu waktu—kemungkinan besar akan terjadi dalam dekade 2030-an.
“Setiap sepersekian derajat yang bisa kita hindari tetap sangat berarti. Upaya harus terus dilakukan untuk menekan laju pemanasan global,” tegasnya.
Ketimpangan Iklim dan Tanggung Jawab Global
Kondisi ini menyoroti ironi besar dalam perjuangan global menghadapi krisis iklim: negara-negara berkembang yang paling terdampak justru bukan penyumbang emisi terbesar. Masyarakat adat, nelayan, petani kecil, dan komunitas pesisir yang hidup bergantung pada alam kini harus menanggung beban dari kegagalan negara-negara maju mengekang emisi karbon mereka.
Ketergantungan pada bahan bakar fosil serta lemahnya komitmen politik dari negara-negara berpengaruh telah memperburuk situasi. Amerika Serikat, misalnya, sempat menarik diri dari Perjanjian Paris di era pemerintahan Donald Trump, dan menerapkan kebijakan pro-industri ekstraktif yang memicu kekhawatiran global.
Krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga persoalan keadilan sosial dan hak asasi manusia. Ketimpangan dalam tanggung jawab dan dampak perlu dijawab dengan komitmen yang lebih kuat, terutama dari negara-negara yang memiliki kapasitas finansial dan teknologi.
Peran Data dan Kolaborasi Global
Di tengah kondisi ini, data iklim berkualitas tinggi menjadi instrumen penting dalam perencanaan kebijakan. Direktur Jenderal Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (ECMWF), Florence Rabier, menekankan pentingnya sistem pengamatan global yang solid dan kolaboratif.
“Cuaca ekstrem tak mengenal batas negara. Untuk memahami dan memprediksinya, kita perlu data dari seluruh dunia,” katanya. Sistem pemantauan Bumi yang canggih, mulai dari satelit, balon cuaca hingga stasiun observasi darat, memungkinkan prakiraan cuaca jangka menengah yang sangat penting untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi properti.
Rabier juga menyerukan kolaborasi yang lebih erat antara Eropa dan Amerika Serikat demi memperkuat sistem prediksi global. Ia memperingatkan bahwa setiap kelemahan dalam jaringan pengamatan iklim akan membawa dampak serius bagi masa depan.
“Ini bukan hanya tentang generasi kita, tapi juga tentang warisan yang kita tinggalkan untuk anak cucu,” ujarnya.