HUKAMANEWS Greenfaith – Bandung, kota yang dikenal sebagai Paris Van Java, kini justru menghadapi situasi yang jauh dari indah: darurat polusi akibat kendaraan bermotor.
Setiap harinya, udara kota ini semakin sesak, bukan karena wangi parfum khas anak muda Bandung, tapi karena emisi karbon yang makin menggila.
Dengan kecepatan mobilitas kendaraan yang rata-rata hanya 11 km/jam, kondisi ini jelas mencerminkan betapa macet dan padatnya jalanan Bandung.
Bandingkan dengan ambang batas wajar yaitu 20 km/jam, Bandung tertinggal jauh.
Baca Juga: Perbedaan Adaptasi vs Mitigasi Perubahan Iklim, Beda Tipis Tapi Dampaknya Bisa Menyelamatkan Hidup
Gambaran jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan pribadi bukan cuma bikin sumpek, tapi juga memperparah krisis iklim.
Total emisi gas buang yang dihasilkan Kota Bandung bahkan sudah mencapai 1,53 juta ton per tahun, dan menyumbang lebih dari 23 persen total emisi gas rumah kaca kota ini.
Situasi ini jadi alarm keras yang gak bisa lagi diabaikan.
Sayangnya, revitalisasi transportasi publik masih jalan di tempat.
Padahal, dalam diskusi publik bertajuk 'Transportasi Berkeadilan untuk Pencegahan Krisis Iklim' yang digelar 15 November 2024 di Kedai Jante, para narasumber menyoroti satu poin penting: keadilan dalam akses transportasi publik adalah kunci.
Naba Hudani dari Enter Nusantara menyebutkan bahwa 80% anak muda Bandung sebenarnya sudah paham bahwa naik transportasi publik bisa bantu mencegah krisis iklim.
Baca Juga: Krisis Iklim Bikin Kesehatan Mental Terancam, Anak Muda dan Petani Jadi Kelompok Paling Rentan
Tapi realitanya? Mereka tetap pakai kendaraan pribadi.
Masalahnya bukan di kesadaran, tapi di layanan.
Transportasi publik di Bandung dinilai masih minim sarana, pelayanan, dan informasi yang layak.