HUKAMANEWS GreenFaith - Di tengah suara mendesak dari komunitas internasional tentang perlunya aksi nyata menghadapi perubahan iklim, Indonesia berdiri di persimpangan antara potensi besar dan tantangan yang belum tertangani.
Ajang COP29 baru-baru ini memberikan gambaran jelas tentang urgensi global untuk mengurangi emisi karbon. Namun, bagaimana dengan realisasi di lapangan?
Salah satu tonggak kebijakan yang diperkenalkan Indonesia adalah pajak karbon. Tujuannya jelas: menginternalisasi biaya lingkungan ke dalam perhitungan ekonomi industri, sehingga para pencemar membayar harga sebenarnya dari kerusakan yang mereka timbulkan. Sayangnya, meskipun regulasi sudah ada, implementasinya masih jauh dari harapan.
Pemerintah menargetkan pengumpulan dana hingga USD 65 miliar melalui perdagangan karbon pada tahun 2028, dengan optimisme bahwa ini akan mendorong pertumbuhan sektor energi bersih sekaligus membuka peluang kerja baru. Namun, kritik keras datang dari aktivis lingkungan seperti Amalya Reza dari Trend Asia. Ia menyoroti paradoks kebijakan yang terjadi di Indonesia. Di satu sisi menjual karbon, tetapi di sisi lain terus mengizinkan deforestasi besar-besaran.
Baca Juga: Sopir Truk Tronton Histeris Usai Tabrak 7 Kendaraan di Slipi, Saksi: Dia Sempat Mencoba Kabur
Contoh nyata adalah kerusakan hutan seluas 33 ribu hektar di Kalimantan Barat pada 2023. Insiden ini bukan hanya merusak habitat satwa langka seperti orangutan, tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada ekosistem tersebut. Ketidakseriusan pemerintah dalam menjaga hutan tropis ini menunjukkan lemahnya komitmen Indonesia dalam pengelolaan karbon.
Ironisnya, pajak karbon sebenarnya memiliki potensi besar untuk mendukung ekonomi hijau. Kajian menunjukkan bahwa Indonesia dapat meraup pendapatan hingga Rp 51 triliun pada 2025 dari pajak karbon saja. Jika izin karbon dimaksimalkan, pendapatan itu bahkan bisa mencapai Rp 145 triliun per tahun. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika pemerintah benar-benar berkomitmen untuk menerapkan kebijakan yang ketat dan transparan.
Menurut Beyrra Triasdian dari Trend Asia, langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan kebijakan yang merusak lingkungan, seperti pembangunan PLTU berbasis fosil. Sebagai gantinya, pemerintah harus fokus pada transisi ke energi terbarukan, yang tidak hanya berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon tetapi juga menjanjikan kestabilan ekonomi jangka panjang.
Baca Juga: Hakim Tolak Praperadilan Tom Lembong, Kasus Korupsi Impor Gula Tetap Berlanjut
Emisi Global yang Mengkhawatirkan
Pada tahun 2024, emisi karbon global diproyeksikan mencapai rekor tertinggi, yakni 41,6 miliar ton. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terbesar, memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, tingkat deforestasi yang tinggi membuat negara ini justru menjadi penyumbang signifikan emisi karbon global.
Laporan dari Global Carbon Project menunjukkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi adalah dua kontributor utama peningkatan emisi karbon. Bagi Indonesia, ini adalah alarm keras untuk segera menghentikan praktik eksploitasi yang merusak lingkungan.
Dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, solusi tidak hanya terletak pada pajak karbon semata. Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik. Langkah-langkah seperti menghentikan deforestasi, mempercepat transisi ke energi terbarukan, dan memperkuat pengawasan terhadap aktivitas industri menjadi sangat krusial.
Baca Juga: Paradoks Rencana Kenaikan PPN 12 Persen VS Obral Ampunan Pendosa Pajak