Namun agama yang sama juga mengajarkan bahwa penderitaan bisa dihentikan jika kita berani mengambil Jalan Benar. Dalam konteks Sumatra, Jalan Benar itu sangat konkret.
Pertama, negara harus berhenti melihat hutan sebagai “modal yang bisa ditekan”. Hutan bukan ruang kosong yang bisa dihitung dalam lembar ekonomi. Ia adalah sistem penyangga hidup.
Kedua, penegakan hukum tidak boleh berhenti pada konferensi pers. Negara lain menebang, tetapi mereka menanam kembali. Kita menebang, tetapi menanam alasan. Ini harus berakhir.
Ketiga, masyarakat perlu mengubah cara memandang bencana. Banjir bukan pesan samar. Ia adalah peringatan yang sangat keras: ada yang salah dengan cara kita hidup. Merusak alam sama artinya merusak diri sendiri.
Keempat, pemulihan ekologis harus menjadi prioritas jangka panjang. Reboisasi bukan program seremonial. Hulu sungai harus dipulihkan secara bertahap dan berkelanjutan. Restorasi ekologis harus berjalan seiring dengan perlindungan sosial—melindungi kelompok rentan, memperkuat peringatan dini, dan menyiapkan masyarakat menghadapi krisis iklim.
Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, mengingatkan bahwa rangkaian banjir dan longsor di Sumbar, Sumut, dan Aceh bukanlah peristiwa tunggal, melainkan hasil interaksi antara perubahan iklim akibat aktivitas manusia, degradasi lingkungan di kawasan hulu, dan kondisi geomorfologi Sumatra yang memang rawan.
Kombinasi faktor-faktor ini membuat bencana hidrometeorologi semakin sering, ekstrem, dan sulit diprediksi, sehingga menciptakan “bom waktu” ekologis yang ruang adaptasinya kian menyempit. Karena itu, ia menekankan pentingnya mitigasi dan adaptasi berbasis ekologi—didukung sains dan teknologi yang kuat—agar siklus bencana tidak berubah menjadi tragedi yang terus berulang.
Sumatra mengingatkan kita bahwa bencana tidak datang sendirian. Ia membawa pesan moral. Pesan tentang apa yang telah hilang, dan apa yang harus kita pulihkan.
Baca Juga: Membenahi Gagap Nalar Peradilan
Dalam ajaran Buddha terdapat pepatah: “Tidak ada hujan yang turun tiba-tiba; ia adalah hasil dari awan yang terbentuk perlahan.”
Bencana hari ini adalah awan yang kita bentuk sendiri—pelan, konsisten, dan penuh pembiaran.
Kini, pilihan ada pada kita: terus membiarkan awan kelabu itu menebal, atau mulai membentuk awan baru—awan kebijaksanaan, keberanian, dan moral ekologis yang kembali tegak.
Karena alam selalu mengirim pesan. Pertanyaannya: kita mau mendengar, atau menunggu semuanya terlambat?***
Artikel Terkait
GreenFaith Indonesia dan UIN Sumut Sepakat: Agama Harus Turun Tangan Hadapi Krisis Lingkungan
Satu Dekade Usai Perjanjian Paris, Dunia Makin Panas, Target 1,5°C Semakin Sulit Dikejar?
Indonesia Disorot Dunia, Dapat Award Satir 'Fossil of the Day' karena Komitmen Iklim Dinilai Mandek di Ajang COP
GreenFaith Sentil COP30: Nilai Kemanusiaan Jangan Dikorbankan demi Lobi Fosil
Roadshow Aksi Lingkungan Terpadu: Dari Sukabumi, Energi Bersih Mengalir Hingga Garut dan Bandung
Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan
Kaltim Jadi Titik Nyala Baru Gerakan 1000 Cahaya Muhammadiyah, Perkuat Aksi Iklim Berkelanjutan