Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

photo author
- Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB
Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia dan National Cordinator Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia
Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia dan National Cordinator Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia

HUKAMANEWS Climate Justice - Banjir yang melanda Sumatra belakangan ini terasa seperti tamparan yang mengingatkan kita bahwa alam punya cara sendiri menegur manusia yang keras kepala. Dari Aceh sampai Sumbar, air bah tak sekadar merendam rumah, tetapi juga menelanjangi cara kita memperlakukan hutan: serampangan, rakus, dan sering kali dibungkus alasan pembangunan.

Dalam tulisan ini, Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia dan National Cordinator Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, mencoba membaca bencana bukan hanya sebagai peristiwa alam, tapi sebagai cermin besar yang memantulkan krisis moral ekologis bangsa. Pertanyaannya sederhana namun menyengat: kalau hutan kita hancur karena ulah kita sendiri, untuk berapa lama lagi kita bisa berpura-pura tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab? Berkut catatan lengkapnya.

***
Banjir Sumatra bukan sekadar musibah alam, tapi cermin retak yang menampakkan krisis moral ekologis bangsa yang terlalu lama kita abaikan.

AIR BAH yang menyapu Sumatra dalam beberapa pekan terakhir bukan hanya soal curah hujan. Ia adalah kisah panjang tentang bukit yang digunduli, sungai yang dangkal, dan negara yang terlalu lama memalingkan wajah. Pohon-pohon besar ikut hanyut, seakan menjadi saksi bisu bahwa hulu sungai telah kehilangan penjaganya.

Di banyak tempat, banjir bandang datang bergulung-gulung. Longsor merobek lereng. Ladang, jembatan, dan rumah tersapu begitu mudah. Semua terjadi begitu cepat, tetapi proses menuju bencana itu berlangsung sangat lama. Kita hanya terlambat menyadarinya.

Dalam ajaran Buddha, ada satu prinsip sederhana: sebab dan akibat tidak pernah keliru. Alam bekerja dengan logikanya sendiri. Ketika hutan ditebang tanpa kendali, tanah kehilangan daya cengkeram. Ketika penyangga air hilang, sungai meluap dengan mudah. Ketika kerakusan manusia mengalahkan welas asih, maka penderitaan menjadi akibat yang tak terhindarkan.

Sumatra adalah gambaran telanjang dari kebenaran itu. Di Aceh, Sumut, hingga Sumbar, ratusan ribu hektar hutan hilang dalam hitungan dekade. Lereng curam dibuka untuk tambang emas ilegal, perkebunan cepat-panen, dan konsesi yang entah bagaimana lolos dari logika ekologis. Hulu sungai terkelupas. Tanah kehilangan kekuatannya.

Baca Juga: Ada Sosok 'Godfather' WNA Nigeria Dibelakang Dewi Astutik yang Diduga Kendalikan Bisnis Dua Ton Sabu hingga Tembus 3 Benua

Namun, di tengah kerusakan yang makin nyata, kita seperti lupa bahwa menjaga alam bukan sekadar urusan teknis, tetapi urusan moral. Moral ekologis adalah kompas etis yang mengingatkan bahwa alam bukan objek untuk dieksploitasi, melainkan ruang hidup yang harus dirawat.

Ketika nilai itu mengabur, keputusan-keputusan yang diambil—dari pembukaan hutan hingga pemberian izin tambang—tak lagi mempertimbangkan keseimbangan jangka panjang. Yang tersisa hanyalah kalkulasi ekonomi sesaat. Di titik itulah, bencana bukan lagi kejadian alam, tetapi konsekuensi dari hilangnya tanggung jawab moral terhadap bumi yang menjadi rumah kita bersama.

Itulah sebabnya kita perlu jujur: banjir ini bukan semata musibah. Ia adalah cermin. Ia memperlihatkan cara kita memperlakukan alam dan betapa moral ekologis kita telah merosot perlahan-lahan.

Potongan kayu gelondongan di pantai Padang usai banjir Sumatera.
Potongan kayu gelondongan di pantai Padang usai banjir Sumatera. (HukamaNews.com / Antara)

Dalam pandangan Buddhis, keserakahan (lobha) adalah akar penderitaan. Keserakahan itu tidak selalu wujud dalam diri individu; ia bisa menjelma menjadi kebijakan, regulasi, dan praktik ekonomi yang mengabaikan keberlanjutan. Ketika hutan dianggap sekadar komoditas, maka kerusakan tinggal menunggu waktu.

Baca Juga: Kaltim Jadi Titik Nyala Baru Gerakan 1000 Cahaya Muhammadiyah, Perkuat Aksi Iklim Berkelanjutan

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X