HUKAMANEWS GreenFaith – Dua warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, untuk pertama kalinya menapakkan kaki di benua Eropa. Bukan untuk berwisata, melainkan untuk menggugat salah satu perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim.
Gugatan ini mungkin hanya bernilai 14.000 franc Swiss—sekitar Rp250 juta—tetapi maknanya jauh melampaui angka itu: sebuah simbol perlawanan dari masyarakat kecil terhadap raksasa industri yang dituding turut menyumbang krisis iklim global.
Arif Pujianto, 54 tahun, seorang mekanik sekaligus ayah keluarga di Pulau Pari, menceritakan bagaimana hidupnya berubah sejak November 2021. Hari itu, air laut pasang melampaui batas yang pernah ia kenal. Kebun, rumah, hingga perabotan miliknya terendam. Sejak saat itu, banjir rob bukan lagi kejadian sepuluh tahunan seperti di masa kecilnya, melainkan hadir saban tahun dengan daya rusak lebih besar.
“Sejak hari itu, air kembali setiap tahun. Lebih parah dan tak terduga,” kata Arif, menukil derbund.ch media lokal berbahasa Jerman di Swiss (31/8/2025), sembari menunjukkan foto-foto banjir yang merendam rumahnya.
Para klimatolog memperkirakan, jika tren kenaikan permukaan laut tak berhenti, sebagian besar wilayah Pulau Pari akan tak layak huni dalam 25 tahun ke depan. Opsi membangun tanggul laut mungkin bisa menunda bencana, tetapi solusi sejatinya hanya bisa lahir dari aksi global menghentikan krisis iklim.
Arif tidak sendiri. Bersamanya, ada Ibu Asmania, seorang pembudidaya rumput laut dan ikan yang juga merasakan dampak langsung perubahan iklim.
“Dari 500 ikan yang kami tebar, hanya delapan ekor yang bertahan hidup. Rumput laut kami mati dalam hitungan hari,” ujarnya getir.
Meski begitu, Asmania menegaskan, “Kami lahir di sini dan akan tinggal di sini sampai akhir hayat. Kami berjuang demi hak untuk hidup di pulau kami.”
Holcim di Kursi Terdakwa
Gugatan terhadap Holcim, produsen semen asal Swiss yang selama puluhan tahun tercatat sebagai salah satu dari 100 penghasil emisi CO₂ terbesar di dunia, menjadi ujian pertama bagi sistem hukum Swiss.
Empat warga Pulau Pari—Arif, Asmania, Bobby, dan Edi Mulyono—menuntut kompensasi sebesar 14.000 franc. Jumlah itu mungkin tak seberapa, bahkan lebih kecil dibanding gaji CEO Holcim dalam satu jam kerja. Namun, simbolismenya besar: perusahaan global harus ikut bertanggung jawab atas kerusakan iklim yang mereka timbulkan.
Kesempatan menggugat ini lahir berkat kerja sama organisasi lingkungan internasional HEKS (Gereja Reformasi Injili Swiss) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
“Holcim dipilih karena perusahaan ini punya jejak emisi CO₂ masif. Lokasi emisi atau legalitas pada masa lalu tidak relevan. Siapa pun yang menimbulkan kerugian harus bertanggung jawab,” kata Yvan Maillard Ardenti, manajer keadilan iklim HEKS.
Meski peluang menang relatif kecil, para ahli hukum menegaskan kasus ini bukan tanpa preseden. Pada 2021, Pengadilan Den Haag memerintahkan Shell memangkas emisi 45 persen pada 2030. Di Jerman, seorang petani Peru menggugat perusahaan energi RWE karena mencairnya gletser mengancam rumahnya.
Artikel Terkait
Menolak Tenggelam: Suara dari Pulau Pari untuk Keadilan Iklim
Perempuan Pulau Pari: Penjaga Laut, Penjaga Kehidupan
Perjuangan Warga Pulau Pari Menolak Tenggelam di Tengah Krisis Iklim
Kondisi Pulau Pari Saat Ini: Pernah Makmur Kini Terjepit Abrasi, Reklamasi, dan Kriminalisasi
Demi Keadilan Iklim, Dua Warga Pulau Pari Terbang ke Swiss Hadapi Raksasa Semen Holcim
Menggugat ke PTUN Jakarta dan Pengadilan Swiss, Warga Pulau Pari Jadi Simbol Perlawanan Krisis Iklim