HUKAMANEWS GreenFaith - Perjuangan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, untuk mempertahankan ruang hidup mereka dari ancaman tenggelam akibat krisis iklim kini memasuki dua jalur hukum sekaligus.
Di tingkat internasional, dua warga Pulau Pari menghadiri sidang gugatan terhadap Holcim, raksasa semen asal Swiss, yang dituding bertanggung jawab atas emisi karbon masif penyebab naiknya permukaan laut.
Sementara di dalam negeri, warga yang sama juga menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait izin pemanfaatan ruang laut yang dinilai merusak ekosistem perairan di sekitar pulau.
Holcim, menurut laporan Climate Accountability Institute (2019), termasuk dalam 50 perusahaan penghasil emisi karbon terbesar dunia. Dari 1950 hingga 2016, Holcim diduga bertanggung jawab atas 0,42% total emisi industri global, setara dengan 7 miliar ton CO₂.
“Dampaknya langsung dirasakan warga pesisir, termasuk di Pulau Pari, yang kini setiap tahun menghadapi banjir rob lebih sering,” ujar Parid Ridwanuddin, Manajer Program GreenFaith Indonesia, Minggu (31/8/2025).
Data Jakarta Research Council (2022) mencatat, Pulau Pari telah mengalami abrasi hingga 11% dalam dua dekade terakhir. Banjir rob kini terjadi rata-rata 8–9 kali dalam setahun, meningkat drastis dari rata-rata 2 kali per tahun pada 1990-an. Naiknya permukaan laut di Teluk Jakarta bahkan diprediksi mencapai 0,57 meter pada 2050 jika tidak ada langkah mitigasi serius (IPCC, 2021).
“Warga Pulau Pari bukan hanya korban, tetapi juga pionir keadilan iklim. Mereka menuntut pertanggungjawaban korporasi global seperti Holcim sekaligus mendesak pemerintah Indonesia agar tidak memberi karpet merah bagi investor yang justru merusak ekosistem laut,” tambah Parid.
Di PTUN Jakarta, gugatan warga diarahkan pada Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan yang menerbitkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk aktivitas wisata tertentu di sekitar Pulau Pari.
Menurut warga, izin tersebut akan memperparah kerusakan ekosistem laut, termasuk padang lamun dan terumbu karang, yang justru berfungsi menahan abrasi dan menjaga keseimbangan lingkungan pesisir.
“Kami meminta hakim PTUN Jakarta membatalkan PKKPRL tersebut karena jelas-jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan dan hak masyarakat pesisir,” kata Muhamad Arif, salah satu warga Pulau Pari yang ikut menggugat.
Kasus ini menyoroti dilema besar yang dihadapi Indonesia: di satu sisi menggaungkan komitmen transisi energi dan adaptasi perubahan iklim, namun di sisi lain tetap membuka ruang bagi eksploitasi lingkungan.
Sementara itu, di forum internasional, langkah hukum warga Pulau Pari terhadap Holcim menjadi simbol keberanian komunitas lokal menuntut akuntabilitas perusahaan global.
“Gugatan ini bukan hanya tentang Pulau Pari, tapi tentang masa depan pesisir Indonesia yang terancam tenggelam. Jika pemerintah terus membiarkan izin merusak lingkungan dan perusahaan global terus memproduksi emisi, maka jutaan rakyat pesisir akan kehilangan rumah,” tegas Parid.
Artikel Terkait
Menolak Tenggelam: Suara dari Pulau Pari untuk Keadilan Iklim
Perempuan Pulau Pari: Penjaga Laut, Penjaga Kehidupan
Perjuangan Warga Pulau Pari Menolak Tenggelam di Tengah Krisis Iklim
Kondisi Pulau Pari Saat Ini: Pernah Makmur Kini Terjepit Abrasi, Reklamasi, dan Kriminalisasi
Demi Keadilan Iklim, Dua Warga Pulau Pari Terbang ke Swiss Hadapi Raksasa Semen Holcim