“Kami sadar, kami tidak bisa langsung ubah kebijakan. Tapi kami bisa memicu perdebatan publik,” katanya.
Diskusi juga mengupas risiko-risiko dalam memengaruhi opini publik, mulai dari intimidasi hingga tuduhan politisasi. Namun, menurut para peserta, risiko tersebut sebanding dengan pentingnya membangun tekanan publik yang berkelanjutan.
Apalagi, di tengah ruang demokrasi yang menyempit, kanal-kanal informal seperti media sosial menjadi ruang berekspresi yang tak kalah strategis.
Akhirnya, diskusi menyimpulkan bahwa gerakan sosial di Indonesia saat ini memang belum sepenuhnya terstruktur. Namun, potensi besar ada di tangan generasi muda dan kampanye berbasis komunitas yang otentik.
Kuncinya adalah keberanian untuk terus menyuarakan, kreatif dalam bertindak, dan cermat dalam memengaruhi opini publik.
“Kalau publik diam, politisi tenang. Tapi kalau publik bersuara, mereka mulai berpikir ulang,” tutup Iqbal.***