Greenpeace Beberkan Jurus Kampanye Menggugah Opini Publik dan Menggoyang Kebijakan Lingkungan

photo author
- Kamis, 31 Juli 2025 | 09:00 WIB
Iqbal Damanik dari Greenoeace saat menyampaikan materi di depan peserta Green Youth Quake di Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, Dramaga, Bogor, Senin (28/7/2025).
Iqbal Damanik dari Greenoeace saat menyampaikan materi di depan peserta Green Youth Quake di Pesantren Ekologi Misykat al Anwar, Dramaga, Bogor, Senin (28/7/2025).

 

HUKAMANEWS GreenFaith — Di tengah menguatnya krisis iklim dan stagnasi kebijakan lingkungan, kampanye dan advokasi tak bisa lagi sekadar menaruh harapan pada parlemen. Opini publik menjadi arena baru yang menentukan.

Hal inilah yang menjadi benang merah dalam diskusi bertajuk “Bagaimana Mempengaruhi Opini Publik?” yang digelar Senin, 28 Juli 2025, di Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar, Dramaga, Bogor.

Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Green Youth Quake, sebuah forum ekospiritual yang diinisiasi oleh Greenfaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Pesantren Ekologi Misykat al Anwar. Selama lima hari, 30 pemuda-pemudi dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dari delapan provinsi berkumpul, membincangkan krisis ekologi dan strategi advokasinya dari akar rumput.

Mengawali diskusi, Iqbal Damanik, Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia, menjelaskan lanskap organisasi kampanye di Indonesia. Greenpeace, menurutnya, adalah contoh organisasi yang tidak hanya menyoroti isu hutan, tetapi juga mempraktikkan Non-Violent Direct Action (NVDA) sebagai taktik kampanye utama.

"Kami bukan LSM biasa. Kami campaign organization," ujarnya.

Namun, apakah organisasi semacam itu bisa dikategorikan sebagai bagian dari gerakan sosial?

Diskusi pun berkembang. Peserta menyepakati bahwa organisasi kampanye, ormas, hingga jaringan advokasi bisa dianggap sebagai simpul-simpul dari gerakan sosial, meski berbeda basis isu dan pendekatan. Perbedaan ini tidak menghalangi terbentuknya ekosistem gerakan yang lebih besar, selama memiliki kesamaan visi perubahan.

Salah satu pokok penting yang mencuat adalah soal opini publik. Sebagian besar peserta menilai bahwa memengaruhi opini publik adalah hal krusial dalam mendorong perubahan kebijakan.

Kasus pencabutan izin tambang di Raja Ampat atau kenaikan harga LPG menjadi bukti bahwa respons publik, terutama di media sosial, bisa menjadi tekanan politik yang signifikan.

Namun, pengaruh opini publik tidak selalu linier. Sejumlah peserta menyoroti bahwa advokasi langsung kepada pembuat kebijakan juga bisa efektif, terutama jika disokong oleh data kuat. Di sisi lain, politisi tetap sangat sensitif terhadap citra dan elektabilitas, sehingga opini publik tetap menjadi medan strategis yang tak bisa diabaikan.

Diskusi juga menyinggung fenomena gerakan rizomatik, yakni gerakan sosial tanpa struktur jelas, tumbuh menyebar secara horizontal melalui media sosial.

Hashtag seperti IndonesiaGelap dan ReformasiDikorupsi adalah contoh riil dari ledakan protes yang tak terpimpin namun menggema.

Meski belum mampu menjadi kekuatan politik terorganisir, gerakan ini dianggap sebagai penanda bahwa kesadaran sosial terus bergerak, meski dalam bentuk yang cair.

Dalam konteks inilah, strategi kampanye Greenpeace menjadi relevan. Iqbal menuturkan bahwa aksi-aksi teatrikal seperti membentangkan spanduk di lokasi strategis atau forum internasional adalah cara untuk “mengguncang kesadaran.”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjir Sumatra dan Krisis Moral Ekologis Bangsa

Sabtu, 6 Desember 2025 | 22:05 WIB

Tragedi Sumatera, Ketika Kesucian Alam Dipertaruhkan

Kamis, 4 Desember 2025 | 14:07 WIB
X