HUKAMANEWS GreenFaith — Krisis lingkungan bukan hanya soal teknis emisi karbon atau kerusakan hutan, tetapi juga merupakan persoalan spiritual dan peradaban. Gagasan ini mengemuka dalam diskusi bertema “Allah, Manusia, Alam: Krisis Lingkungan dan Kapitalisme dalam Islam” dalam acara Green Youth Quake yang diselenggarakan oleh Greenfaith Indonesia, Enter Nusantara, dan Pesantren Ekologi Misykat al Anwar pada Jumat, 25 Juli 2025.
Hadir sebagai narasumber, Roy Murtadho dari Pesantren Ekologi Misykat al Anwar mengajak peserta untuk menggali keterkaitan antara teologi Islam, krisis ekologis, dan sistem kapitalisme global. Dengan gayanya yang tenang tapi tajam, Roy membuka paparan dengan menegaskan bahwa relasi antara Allah, manusia, dan alam tidak bisa dipisahkan dalam perspektif Islam.
Tauhid, menurutnya, bukan hanya hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan, tetapi juga merentang secara horizontal—termasuk pada alam semesta.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin bukan hanya seruan pujian. Ia adalah pengakuan bahwa Tuhan adalah pemelihara seluruh alam, bukan hanya manusia,” ujar Roy.
Ia menyebut tiga pilar kosmologis dalam teologi Islam: Tuhan sebagai pemelihara alam, Allah sebagai causa prima pencipta segala, dan manusia sebagai reflektor ketuhanan. Dalam posisi itu, manusia diberi kesadaran dan imajinasi untuk bertindak adil terhadap alam.
Namun, kenyataan berkata lain. Kemampuan berpikir dan berbahasa yang membedakan manusia dari makhluk lain justru digunakan untuk menjustifikasi eksploitasi. Roy menyebut manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bisa mengubah lanskap bumi secara radikal—sering kali dengan merusaknya.
Kapitalisme dan Kerusakan Struktural
Roy menyebut kapitalisme sebagai biang kerok dari kerusakan ekologis yang kita saksikan hari ini. Sistem produksi ini, katanya, didasarkan pada akumulasi tanpa batas, sering kali lewat mekanisme perampasan.
Proyek Strategis Nasional (PSN) pun tak luput dari kritiknya—dianggap sebagai bentuk legalisasi perampasan ruang hidup rakyat.
“Ironi transisi energi juga terjadi. Kita beralih dari batu bara ke nikel, tapi tetap menggunakan listrik berbasis fosil untuk mengecas baterai mobil listrik. Lalu di mana letak transisinya?” sindirnya.
Kritik Roy juga menyasar pada kapitalisme hijau yang ia sebut sebagai “dagelan ekologi”—di mana pelaku perusakan mengklaim diri sebagai penyelamat lingkungan.
Tauhid sebagai Etika Ekologis
Dalam bagian paling reflektif, Roy mengajak peserta kembali kepada hakikat manusia yang berasal dari tanah.
“Ibu kosmik kita adalah bumi,” katanya, seraya menekankan bahwa beragama tidak mungkin dilepaskan dari konteks alam.
Artikel Terkait
GreenFaith Indonesia Mendorong Generasi Muda Lintas Iman Pimpin Gerakan Keadilan Iklim
Walk for Peace: Menapaki Langkah Damai, Menjaga Bumi Bersama untuk Keadilan Iklim
Interfaith Youth and Persons with Disabilities Walk for Climate Justice in Jakarta
Green Youth Quake: Ketika Pemuda NU dan Muhammadiyah Bangkit Hadapi Krisis Iklim