PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini memegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013 yang berlaku hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele. Kegiatan masih dalam tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
PT KSM memiliki IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 Ha. Untuk penggunaan kawasan, perusahaan tersebut memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK pada 2022. Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023, namun saat ini tidak terdapat aktivitas produksi yang berlangsung.
PT Nurhamget
PT ini memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat hingga 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektar di Pulau Waegeo. Perusahaan telah memiliki persetujuan lingkungan dari Pemkab Raja Ampat sejak 2013. Hingga kini perusahaan belum berproduksi.
Kasus penambangan nikel Raja Ampat kembali mengundang pertanyaan publik soal dilema tambang di pulau-pulau kecil.
Aktivitas pertambangan memang berpotensi mendatangkan devisa, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan ekonomi lokal. Namun, biayanya bagi lingkungan kerap terlampau mahal. Kerusakan terumbu karang, sedimentasi laut, serta hilangnya kawasan hutan primer menjadi harga yang tak sedikit untuk ditanggung.
Apalagi Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tetapi juga warisan dunia dengan status geopark global. Kehilangan kawasan ini akibat tambang jelas akan menjadi pukulan telak bagi reputasi Indonesia di mata internasional.***