“Deforestasi akibat food estate masih bisa dipulihkan jika ada upaya penanaman kembali. Namun, pertambangan mengubah ekosistem secara permanen, mencemari tanah dan air, serta menghilangkan keanekaragaman hayati,” jelas Mukri.
Lebih buruk lagi, banyak perusahaan tambang yang tidak memiliki kewajiban untuk melakukan reklamasi setelah aktivitas mereka selesai.
“Saat ini, banyak tambang yang ditinggalkan dalam kondisi buruk tanpa upaya memperbaiki kerusakan. Ini bahaya besar bagi lingkungan,” tambahnya.
Baca Juga: Kabinet Prabowo Penuh Sultan! Ada yang Punya Rp5,4 Triliun, Tapi Kok Ada yang Belum Lapor?
Mukri pun mengkritik undang-undang yang memberi keleluasaan kepada perusahaan tambang untuk menghindari tanggung jawab reklamasi. Akibatnya, banyak area tambang yang menjadi warisan kerusakan lingkungan, menciptakan ancaman besar terhadap sumber daya air dan keanekaragaman hayati.
Ia mengingatkan, reklamasi yang tidak dilakukan hanya akan memperparah dampak perubahan iklim dan menciptakan beban jangka panjang bagi masyarakat.
RUU Keadilan Iklim bukan hanya sebuah regulasi, tetapi sebuah visi untuk masa depan. Ini adalah seruan untuk bertindak, menempatkan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Pemerintah dan DPR diharapkan tidak lagi mengabaikan urgensi ini. Dengan membahas dan mengesahkan RUU ini, Indonesia dapat membuktikan keseriusannya dalam melindungi bumi dan rakyatnya.
“Jika kita tidak segera bertindak, kerusakan lingkungan akan terus memburuk. Ini bukan hanya tentang melindungi alam, tetapi juga menjaga kehidupan generasi mendatang,” pungkas Mukri***
Artikel Terkait
Penanaman Pohon di Lintang Utara, Solusi Gagal untuk Krisis Iklim
Kecamatan Miri Sragen Jawa Tengah Jadi Target Penanaman Satu Juta Hektar Jagung
Ed Sheeran Hijaukan Hutan Inggris, Langkah Nyata Musisi Dunia yang Inspiratif
Mangrove Hancur, Ekosistem Laut Terancam: Jeritan Warga Pulau Pari yang Viral di Media Sosial
Mangrove, Solusi Alami Menyelamatkan Bumi dari Krisis Iklim