HUKAMANEWS – Berjuang tidak harus berisik. Mengejar tidak selalu berlari. Didengar tidak harus menggonggong. Berjuanglah dengan elegan tanpa menjilat dan membuat sensasi, pun dalam pemberantasan mafia hukum.
Berbagai kalangan menilai pemberantasan mafia hukum di Indonesia tidak bisa dilakukan hanya dengan pernyataan-pernyataan Kapolri di medsos. Tetapi harus berani memperbaiki kualitas SDM yang tidak layak menduduki jabatan strategis, mulai dari tingkat Kapolres, Direktur sampai dengan jabatan Kapolda. Sebab masih banyak di antara mereka tidak profesional dalam mengemban amanah Konstitusi.
Fenomena mafia hukum yang sering terjadi dalam proses penegakkan hukum membuktikan bahwa Indonesia sebagai Negara yang gagal mengemban amanah Konstitusi. Mafia dan kongkalikong dalam dunia hukum serta peradilan telah mengindikasikan Indonesia bukan lagi Negara “Rechstaat” sebagaimana amanah Konstitusi. Bahkan celakanya, mafia hukum dan mafia peradilan adalah salah satu fenomena Negara gagal (Failed State).
Cita-cita Presiden Soekarno membentuk “Nation and Character Building” tidak terwujud hingga kini. Revolusi Mental ala Jokowi gaungnya hanya sebentar lalu kembali gelap gulita ditutup pembangunan jalan Tol dan bandara penerbangan di berbagai daerah.
Banyak praktisi dan akademisi memberikan pernyataan kritis bahwa sistem hukum Indonesia sudah bagus namun pelaksanaannya tidak sesuai yang diharapkan masyarakat. Peraturannya sudah ada namun selalu diselewengkan oleh oknum-oknum yang hanya fokus dengan duit.
Buat apa ada peraturan jika aparat penegak hukumnya justru jualan perkara supaya dapat duit lalu mengabaikan kebenaran. Munculnya semua mafia ini karena aparat memberikan ruang kepada mereka untuk mencuri, merampok, merekayasa, memanipulasi, dan sebagainya.
Baca Juga: Uluran kasih Polwan Subditkrimsus Polda Metro Jaya untuk Panti Asuhan Pintu Elok Pamulang
Miris dan sangat menakutkan jika para penegak hukum selalu mengabaikan tugas pokok karena duit. Pengaduan masyarakat (dumas) kepada Kapolri, Menkopolhukam, bahkan Presiden tidak pernah direspon. Masyarakat pun saat ini mulai kehilangan kepercayaan terhadap penegakkan hukum Indonesia.
Penegakan hukum “pandang bulu”
Penegak hukum nampaknya masih “pandang bulu” karena sifat pandang bulu inilah, pengusaha berfikir asalkan punya uang dan koneksi kuat, maka mereka bisa membeli oknum penegak hukum supaya terhindar dari masalah hukum.
Banyak contoh kasus yang menyakiti rasa keadilan. Proses hukum pelaku tragedi kanjuruhan, vonis kasus Bank Bali Joko Candra, konsorsium judi, mafia tambang dan masih banyak kasus-kasus masyarakat di berbagai daerah yang tidak serius ditegakkan sehingga hak hak masyarakat lenyap begitu saja karena tidak punya uang.
Reputasi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pertemuan jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan terpidana yang menjadi buronan, Djoko S Tjandra adalah bukti bahwa penegak hukum sudah berani menghianati Negara untuk uang.
Baca Juga: Menteri BUMN, Erick Thohir Tawarkan Solusi Menjaga Kesehatan Ekosistem Industri Media