HUKAMANEWS – Peradilan kita belakangan tampak seperti mesin yang tersendat: bunyinya keras, hasilnya acak, dan sering lupa membaca buku petunjuk. Kasus-kasus yang mestinya selesai dengan logika sederhana justru dibelit tafsir yang berputar seperti kipas angin tua.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam tulisan analisisnya mengajak kita menengok lebih dekat bagaimana nalar hukum bisa tersesat di ruang sidang yang seharusnya jadi mercusuar akal sehat. Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengingatkan, ketika meja hijau mulai gagap memahami batas antara kebijakan dan kejahatan, publik hanya bisa berharap palu hakim tidak kembali jatuh pada kesalahan yang sama.
Berikut ini catatan lengkapnya.
***
Saat peradilan gagap membaca akal sehat, batas antara diskresi dan delik mengabur, dan nalar hukum tumbang sebelum palu hakim sempat mengetuk.
HUKUM kita memang unik. Kadang tegas, kadang lentur. Tergantung siapa membaca. Dan tergantung apa yang ingin dibuktikan. Kasus Ira Puspadewi di ASDP kembali menunjukkan hal itu. Keputusan bisnis dibaca sebagai pidana. Kerugian negara dihitung seperti angka yang bisa ditarik-ulur. Lalu, ketika putusan mulai terasa janggal, presiden turun tangan. Ringkas, cepat, rapi. Publik pun mengernyit. Kok rasanya hukum bekerja seperti drama bersambung? Yang berubah hanya pemainnya. Ceritanya tetap sama.
Rehabilitasi untuk Ira dan dua direksi lain memang menuntaskan perkara. Nama baik dipulihkan. Jabatan kembali seperti semula. Namun penyelesaiannya justru membuka ruang tanya jauh lebih besar. Jika yang dipulihkan adalah logika, mengapa logika itu harus menunggu tanda tangan presiden? Bukankah ruang sidang seharusnya menjadi tempat pertama di mana akal sehat ditegakkan?
Faktanya, di kasus ASDP, tidak ada bukti mereka memperkaya diri. Tidak ada niat jahat. Tidak ada konstruksi hukum yang pantas disebut korupsi. Sebagian hakim membaca keputusan akuisisi itu sebagai business judgment rule — ruang diskresi yang sah bagi direksi untuk mengambil risiko. Namun sebagian lain justru menilainya sebagai perbuatan melawan hukum. Dua tafsir. Dua dunia. Satu putusan yang akhirnya dibatalkan lewat rehabilitasi.
Masalahnya, pola ini bukan baru. Kita baru saja melihat hal serupa pada kasus Thomas Trikasih Lembong. Kebijakan impor gula yang tidak menimbulkan keuntungan pribadi tiba-tiba berubah menjadi dakwaan korupsi. Vonis pun jatuh. Lalu presiden turun tangan lewat abolisi. Selesai. Namun selesai di atas kertas tidak berarti selesai di akal publik. Mengapa ruang diskresi pejabat publik makin lama makin sempit? Dan mengapa hakim begitu mudah melihat kesalahan administratif sebagai kejahatan?
Dampaknya mengalir ke mana-mana. Pertama, para pejabat menjadi takut membuat keputusan. Mereka dihantui risiko pidana, bahkan ketika keputusan itu sebenarnya legal dan diperlukan. Akhirnya, birokrasi memilih aman. Tidak bergerak. Tidak inovatif. Negara pun berjalan tersendat karena orang-orang yang harusnya mengambil risiko justru memilih diam.
Kedua, dunia usaha semakin ragu. Investor tahu bahwa kepastian hukum tidak datang dari jumlah undang-undang, tapi dari konsistensi tafsir. Jika keputusan bisnis bisa dipidana, siapa yang berani berinvestasi? Jika kerugian usaha bisa “disulap” menjadi kerugian negara, siapa yang mau menjalankan BUMN dengan benar? Kepastian hukum yang longgar seperti ini membuat Indonesia tampak seperti pasar yang menarik, tapi dengan area bermain yang tidak jelas garisnya.
Ketiga, kepercayaan publik makin menipis. Masyarakat awam melihat putusan yang berubah cepat, lalu bertanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi? Vonis yang jatuh lalu ditarik lagi bukan hanya soal teknis hukum. Ia soal kepercayaan. Soal kredibilitas. Soal apakah hakim bekerja berdasarkan hukum atau berdasarkan asumsi belaka.
Di titik ini, kita harus bicara lebih jujur. Nalar peradilan kita memang perlu dibenahi. Perlu standar yang tegas untuk membedakan mana diskresi, mana kelalaian, dan mana pidana. Tidak semua kesalahan manajerial layak masuk penjara. Tidak semua kerugian otomatis diklaim sebagai kerugian negara. Dunia bisnis punya logikanya sendiri. Dan logika itu tidak bisa dipaksa masuk ke kerangka pasal-pasal yang tidak dirancang untuk menilai risiko korporasi.
Kasus ASDP juga menunjukkan hal lain yang sama pentingnya: jauhnya jarak pemahaman antarhakim. Dari tiga hakim, hanya satu yang melihat perkara itu sebagai isu bisnis, bukan pidana. Perbedaan ini wajar. Namun ketika perbedaan itu menghasilkan putusan yang menimbulkan keresahan, ada yang harus diperbaiki. Pengetahuan hakim tentang ekonomi, manajemen risiko, valuasi aset, dan governance harus ditingkatkan. Tak bisa lagi mengandalkan tafsir hitam-putih untuk perkara yang bergerak di wilayah abu-abu.