Perbaikan juga harus dilakukan pada pedoman kerugian negara. Selama perhitungan kerugian hanya bertumpu pada asumsi atau metode yang tidak konsisten, ruang kriminalisasi keputusan akan selalu terbuka. Kita perlu metodologi yang jelas. Transparan. Dapat diuji. Bukan angka yang muncul dan hilang mengikuti angin penyidikan.
Rehabilitasi dan abolisi mungkin menyelesaikan dua kasus. Namun cara penyelesaiannya menunjukkan bahwa sistem peradilan kita sedang mengalami kemacetan nalar. Presiden tidak seharusnya menjadi “service center” yang memperbaiki putusan yang bengkok. Yang harus diperbaiki adalah prosesnya. Cara berpikirnya. Alat kerjanya.
Pada akhirnya, hukum yang baik bukan soal seberapa sering presiden turun tangan, tetapi seberapa jarang presiden perlu turun tangan. Dan sejauh ini, cintaa, panggungnya justru menunjukkan sebaliknya.***
Artikel Terkait
Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”
Soeharto dan Bayangan Orde Baru: Saat Bangsa Belajar Menatap Sejarah dengan Kearifan
Gaduh Ijazah Jokowi: Jejak Hoaks Berulang di Balik Kabut Polemik yang Difabrikasi
Jangan Lelah Mencintai Indonesia, Bahkan Saat Pengabdian Dibalas Bui
Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara