analisis

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Dalam konteks itu, air mata hakim Effendi menjadi lebih dari sekadar ekspresi emosi. Ia adalah simbol duka bagi profesi yang kehilangan arah moralnya. Keadilan bukan lagi perkara benar atau salah, tetapi soal siapa yang punya cukup uang untuk mengatur hasil. Ketika para hakim yang seharusnya berdiri di atas hukum justru bermain di bawah meja, maka sesungguhnya kita sedang hidup di zaman ketika keadilan sudah kehilangan makna spiritualnya.

Baca Juga: Kena Hujat di Medsos, Ini Respons Tak Terduga Bahlil Lahadalia Saat Wajahnya Dijadikan Meme di Media Sosial

Barangkali benar apa yang pernah dikatakan filsuf Romawi, Seneca: “Korupsi bukan dimulai dari kekurangan, tetapi dari keserakahan.” Ketika manusia, betapa pun tinggi jabatannya, menukar integritas dengan kemewahan, maka pada saat itulah ia kehilangan kemanusiaannya.

Kini, bangsa ini tengah berdiri di depan kaca bening yang perlahan buram oleh kabut korupsi. Di satu sisi, kita memiliki undang-undang tegas, lembaga pengawasan, dan gaji tinggi untuk aparat. Namun di sisi lain, semua itu gagal menciptakan benteng moral yang kokoh. Sebab yang hilang bukan sistem, melainkan jiwa.

Reformasi hukum yang sejati tak bisa berhenti pada revisi undang-undang atau kenaikan gaji semata. Ia harus menyentuh hati dan kesadaran mereka yang memegang palu keadilan. Tanpa revolusi moral, semua reformasi hanya akan menjadi kosmetik. Sebab moral yang korup tak bisa disembuhkan dengan tunjangan kinerja, melainkan dengan nurani yang terjaga.

Baca Juga: Aqua Disorot Usai Temuan Sumber Air dari Sumur Bor, Pengamat: Bisa Masuk Ranah Pidana

Maka, biarlah sidang yang getir dan memalukan itu menjadi cermin retak bagi kita semua — tentang bagaimana nurani bisa patah ketika uang menjadi tuhan baru. Mereka boleh saja disebut “wakil Tuhan di muka bumi”, tetapi panggilan suci itu tak lagi layak disandang ketika tangan yang seharusnya memegang kitab hukum justru menggenggam amplop.

Dan mungkin, ketika hakim Effendi meneteskan air mata, yang ia tangisi bukan hanya rekan-rekannya. Ia sedang menangisi kehormatan profesinya, menangisi hukum yang kehilangan maknanya, dan menangisi bangsa yang semakin terbiasa dengan pengkhianatan terhadap kebenaran.***

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB