HUKAMANEWS - Di tengah hiruk-pikuk ambisi politik yang kian mengebiri nurani, bangsa ini seperti kehilangan kompas moralnya. Kekuasaan berubah jadi panggung kepura-puraan, sementara kebenaran dikorbankan di altar kepentingan.
Dalam catatan analisis politiknya, pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH menilai, krisis terbesar bangsa ini bukan soal ekonomi, melainkan pudarnya empati dan akal sehat dalam berkuasa. “Ketika moral mati, hukum hanya jadi alat dagang,” tulis mantan Ketua Komisi III DPR RI ini. Ia mengingatkan, tanpa moralitas, pembangunan hanyalah panggung sandiwara tanpa jiwa. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
Ketika akal sehat dikalahkan ambisi, kekuasaan berubah jadi candu. Negeri ini pun tersesat, kehilangan arah dan rasa malu.
ADA yang hilang dari denyut negeri ini: moralitas dan getar empati. Di antara deru pembangunan dan ambisi politik, suara nurani makin sayup terdengar. Kita sibuk mengukur segalanya dengan angka, grafik, dan target—namun lupa menimbang dengan hati.
Pun dengan kekuasaan yang seolah kehilangan arah moralnya. Ia berjalan seperti kapal tanpa kompas, berlayar di samudra kepentingan tanpa panduan nurani. Di atas geladaknya, para nakhoda politik sibuk mengamankan jabatan, sementara rakyat di bawahnya terombang-ambing menahan badai kesulitan.
Kita menyaksikan dengan getir: hukum diperdagangkan, kebijakan dipertukarkan, dan nilai kemanusiaan kian terpinggirkan. Semua berlomba menjadi bagian dari lingkar kekuasaan, seakan kursi jabatan adalah tiket menuju kemuliaan. Padahal, di sanalah ujian sejati empati dan integritas bermula.
Mengembalikan akal sehat kekuasaan bukan sekadar wacana etika, melainkan perjuangan moral yang berat. Jalan itu terjal, penuh jebakan, dan sering kali menuntut pengorbanan. Namun jika kita tak segera menapakinya, bangsa ini hanya akan menjadi penonton dalam kehancurannya sendiri.
Ada masa ketika menjadi pejabat berarti melayani—ketika kekuasaan adalah amanah, bukan kemewahan. Kini masa itu seperti kenangan yang pudar. Empati menguap di ruang-ruang rapat kekuasaan. Pejabat berpesta di tengah rakyat yang berpuasa karena harga beras tak terbeli. Mereka tersenyum di depan kamera, seolah tak tahu bahwa di balik layar, rakyatnya menahan lapar dan kecewa.
Negara Tanpa Nurani
Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih berat karena melawan bangsamu sendiri.”
Kata-kata itu kini bukan sekadar kutipan sejarah—ia sedang menjadi kenyataan.
Penjajah hari ini tidak berkulit asing. Ia berwajah pejabat, bersuara lembut di depan kamera, tapi tangannya rakus menjarah hak rakyat. Ia bersembunyi di balik jas resmi, di ruang-ruang rapat yang seharusnya membahas nasib bangsa, tapi justru menjadi tempat dagang kekuasaan.
Negeri ini seperti kehabisan empati. Hati para pejabat membeku oleh kemewahan. Mereka lupa bahwa setiap mobil dinas yang mereka kendarai dibeli dari pajak rakyat yang menahan lapar demi sesuap nasi. Mereka lupa bahwa setiap kursi kekuasaan disangga oleh harapan orang-orang kecil yang mempercayai janji mereka.