Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

photo author
- Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Kini, kehormatan tak lagi diukur dari integritas, tapi dari seberapa banyak kekayaan yang bisa dipamerkan. Sukses bukan lagi soal kemampuan melayani, tapi kemampuan menguasai. Martabat tak lagi tentang kejujuran, tapi tentang seberapa tebal isi rekeningmu.

Sementara itu, hukum berubah menjadi pasar malam. Di sana, pasal dijual dan keadilan disewakan. Markus—makelar kasus—bertebaran di setiap institusi, dari kejaksaan, kepolisian, hingga Mahkamah Agung. Semua punya tarif, semua punya jaringan. Keadilan kini bukan lagi hak, melainkan transaksi.

Yang paling menyedihkan bukan banyaknya pejabat korup, tapi sedikitnya orang baik yang berani melawan. Banyak yang mundur, memilih tidak ikut kotor, namun juga enggan membersihkan. Mereka bersembunyi di balik kata “realistis”, padahal diam dalam ketidakadilan adalah bentuk paling halus dari pengkhianatan.

Kita kini berada di titik di mana bangsa ini kehilangan rasa malu. Korupsi dilakukan terang-terangan, manipulasi hukum disiarkan di layar kaca, dan rakyat dipaksa percaya bahwa semua baik-baik saja. Padahal tidak. Negeri ini sedang sakit—dan penyakitnya bukan hanya ekonomi, melainkan moral.

Kita Butuh Revolusi Hati

Indonesia tidak butuh pejabat yang pandai berbicara, tapi yang berani mendengar. Tidak butuh pemimpin yang hafal ayat dan pasal, tapi yang memahami makna kemanusiaan. Krisis kita bukan sekadar krisis sistem, tapi krisis hati.

Pancasila kini hanya menjadi jargon di podium, bukan pedoman di hati. Nasionalisme dipakai untuk menutupi kerakusan, bukan untuk menegakkan keadilan. Demokrasi dijadikan dagangan, bukan jalan menuju kemaslahatan.

Sebelum berbicara tentang revolusi industri, digital, atau ekonomi, mari bicara tentang hal yang paling mendasar: revolusi moral. Revolusi yang menyalakan kembali rasa malu, menghidupkan empati, dan menegakkan kejujuran. Revolusi yang memaksa kita bercermin, lalu bertanya: bangsa seperti apa yang ingin kita wariskan? Sebab jika moral terus dikorbankan, Indonesia tidak sedang maju—ia sedang berjalan mundur menuju kehancuran.

Dan benar kata Bung Karno, perjuangan kita hari ini memang jauh lebih berat, karena musuh yang kita hadapi bukan lagi penjajah berseragam, melainkan bangsanya sendiri: yang kehilangan nurani, kehilangan kasih, dan kehilangan malu.***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Sukowati Utami JI

Sumber: OPINI

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB
X