HUKAMANEWS - Tiga kali reshuffle dalam kurun sebelas bulan seharusnya menjadi momentum perbaikan, bukan sekadar ritual politik. Namun, alih-alih membawa arah baru, publik justru menangkap kesan stagnasi yang kian menebal.
Dalam artikel analisis politik ini, pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH. menelaah bagaimana reshuffle babak tiga Presiden Prabowo Subianto gagal menjawab harapan publik. Dari krisis keteladanan elite hingga rapuhnya moralitas demokrasi, tulisan ini mengajak kita merenungkan: apakah perombakan kabinet hanya berhenti sebagai panggung simbolik, ataukah bisa menjadi pintu masuk menuju tata kelola yang lebih berintegritas? Berikut catatan lengkapnya.
***
Reshuffle kabinet Prabowo dituntut lebih dari sekadar gimmick politik. Perubahan nyata butuh etika, keteladanan, dan tata kelola baik.
TIGA KALI dalam sebelas bulan, Presiden Prabowo Subianto merombak Kabinet Merah Putih. Terakhir pada 17 September lalu, beberapa kursi kosong seperti Menko Polhukam, Menpora, hingga posisi wakil menteri kembali terisi. Publik tentu berharap reshuffle ini bukan sekadar kocok ulang, melainkan titik balik yang membuat roda pemerintahan lebih gesit. Alih-alih membawa energi baru, reshuffle justru meneguhkan citra kabinet yang stagnan.
Secara politik, reshuffle kali ini terbaca sebagai upaya Prabowo mengonsolidasikan kekuasaan sekaligus menegaskan jarak dari pendahulunya, Joko Widodo. Sejumlah loyalis Jokowi, seperti Budi Arie Setiadi dan Dito Ariotedjo, terdepak pada gelombang sebelumnya. Pola ini memperlihatkan arah yang semakin personalistik: kabinet bukan lagi arena meritokrasi, melainkan lingkaran loyalis.
Baca Juga: “Mental Stunting” Pejabat
Masalah sesungguhnya bukan pada siapa yang digeser, melainkan siapa yang dibiarkan tetap duduk. Publik berharap reshuffle menjadi momentum membersihkan menteri-menteri bermasalah: kerap bikin gaduh, abai pada empati, bahkan menelurkan kebijakan yang menyulitkan rakyat.
Namun, nama-nama seperti Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni atau Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tetap aman. Raja sempat dipanggil ke istana gara-gara main domino dengan bekas tersangka pembalakan liar. Bahlil berulang kali melahirkan kebijakan kontroversial, mulai aturan distribusi gas elpiji 3 kilogram hingga usulan distribusi BBM swasta. Dengan catatan itu, sulit dipahami mengapa reshuffle gagal menjadi momentum evaluasi kinerja.
Lebih jauh, alih-alih ramping, kabinet justru makin tambun setelah tiga kali dirombak. Jumlah kementerian dan wakil menteri bertambah, termasuk Kementerian Haji dan Umrah. Padahal, publik menunggu perombakan yang menghadirkan efisiensi, bukan pembengkakan. Kabinet gemuk terbukti tak lincah, lamban merespons masalah, dan boros anggaran.
Kekecewaan publik tak bisa dilepaskan dari krisis keteladanan elite. Bangsa ini tengah mengalami defisit etika dimana sosok teladan makin langka. Pejabat lebih sering tampil sebagai “bunglon” yang berganti warna sesuai kepentingan, bukan rujukan moral. Jurang antara kata dan tindakan makin menganga, etika kehidupan berbangsa yang digariskan dalam Tap MPR tinggal indah di atas kertas.
Defisit keteladanan itu semakin kentara ketika kritik publik hanya dijawab dengan pergantian wajah, bukan perubahan kebijakan. Padahal, menyitir WS Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Reshuffle yang hanya menghasilkan kosmetik politik justru memperlihatkan rapuhnya konsistensi elite.
Baca Juga: Sudewo dan Cermin Retak Empati Pejabat Publik di Era Prabowo
Dari sisi parlemen, kondisinya tak kalah muram. Lemahnya pemahaman etika demokrasi di DPR makin kentara. Politik dinasti dan oligarki kian menancap, membuka ruang subur bagi korupsi. Data Formappi mencatat 14% anggota DPR terkait dinasti politik, sementara ICW menemukan hampir 30%. Bahkan, 61% anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha. Dengan konfigurasi ini, DPR lebih sering gagal memperjuangkan kepentingan rakyat ketimbang menjadi pengawas eksekutif. Maka, tak heran reshuffle kabinet pun tak memberi angin segar; sistem politik kita tersandera oleh moralitas demokrasi yang rapuh.