Apa yang sesungguhnya dibutuhkan publik bukanlah pertunjukan reshuffle tiga babak, melainkan ketegasan etika dan keberanian menolak kompromi pragmatis. Publik menunggu kabinet yang ramping, efektif, berintegritas, dan sanggup mengembalikan kepercayaan rakyat. Sayangnya, yang tampak sejauh ini justru sebaliknya: reshuffle demi reshuffle, tapi wajah kabinet tetap sama.
Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya menuntut prosedur, tetapi juga fondasi moral. Perombakan kabinet tanpa pijakan etika hanyalah menghadirkan bayangan perubahan, bukan perbaikan yang nyata. Jika Presiden Prabowo ingin warisan pemerintahannya dikenang lebih dari sekadar gimmick politik, ia harus berani melangkah lebih jauh: menyingkirkan mereka yang gagal, memangkas kabinet yang tambun, dan membangun tata kelola berbasis keteladanan. Tanpa itu semua, reshuffle akan selalu berakhir sebagai pertunjukan kosong, sekadar tepuk tangan yang cepat hilang dari ingatan.***
Artikel Terkait
Sudewo dan Cermin Retak Empati Pejabat Publik di Era Prabowo
Membaca Wajah 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Antara Euforia Kekuasaan, Elitisme, dan Antiklimaks Reformasi
Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia
Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi
“Mental Stunting” Pejabat
Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite