Pertentangan inilah yang memunculkan keraguan: bagaimana menjamin hak warga negara tidak terlanggar, dan bagaimana memastikan perampasan tidak berubah menjadi alat politik balas dendam? Karena itu, publik mendesak agar pembahasan dilakukan secara terbuka, akuntabel, serta melibatkan pakar independen dan masyarakat sipil. Tujuannya jelas: mencegah pasal-pasal ditunggangi kepentingan politik maupun korporasi.
Baca Juga: Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Ketika Jalan Pintas Kekuasaan Menelikung Etika Hukum
Presiden Prabowo Subianto berulang kali menyatakan dukungannya. Dalam pidato Hari Buruh, 1 Mei 2025, ia menegaskan bahwa undang-undang ini vital untuk menarik kembali kekayaan negara dari tangan koruptor. Namun, pernyataan politik tidak otomatis menjamin kelancaran legislasi. Di Senayan, tarik-menarik kepentingan antarpartai, komisi, hingga badan legislasi masih menjadi faktor penentu. Tidak jarang, RUU yang berpotensi merugikan elite justru diperlambat, diganti substansinya, bahkan digembosi pasalnya. Sejarah panjang RUU ini sendiri menjadi bukti bahwa resistensi politik kerap lebih kuat daripada aspirasi publik.
Semua Ketua Umum Partai Politik harusnya memiliki kesadaran politik dan hukum untuk tegas, jujur dan serius mendorong pembahasan RUU perampasan aset tanpa ada embel-embel drama politik. Sikap tegas dan jujur semua Ketua Umum Partai Politik secara politis membuktikan bahwa elite parpol bersih dan siap melawan korupsi.
Indonesia sejatinya bukan tanpa pijakan. Negeri ini sudah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, yang mendorong negara anggota mengadopsi instrumen pemulihan aset lintas negara. Dalam praktik global, konsep perampasan aset non-konviktif lazim digunakan, terutama dalam kasus kejahatan transnasional dan pencucian uang. Jika Indonesia serius, RUU Perampasan Aset harus mengadopsi prinsip UNCAC: definisi jelas tentang aset yang dapat dirampas, mekanisme pelacakan, prosedur penyitaan dan pengelolaan, perlindungan pihak ketiga yang beritikad baik, serta kerja sama internasional. Tanpa itu, regulasi ini hanya akan menjadi macan kertas.
Lemahnya Kemauan Politik Wakil Rakyat
Fakta bahwa DPR baru bergerak setelah diguncang demonstrasi besar memperlihatkan lemahnya kemauan politik wakil rakyat. Selama 15 tahun RUU ini mengendap di laci parlemen, publik menyaksikan betapa enggannya DPR menabrak kepentingan elite. Kini, dengan sorotan publik begitu tajam, DPR dan pemerintah tidak punya alasan lagi untuk menunda. Jika mereka sekadar meloloskan RUU tanpa kualitas substansi, gelombang “parlemen jalanan” hampir pasti akan kembali turun ke jalan.
Baca Juga: DPR, KPK, dan Pertarungan Senyap di Balik Revisi KUHAP
RUU Perampasan Aset sejatinya bukan sekadar regulasi teknis, melainkan cermin komitmen negara dalam memberantas korupsi. Pembahasan RUU ini akan menjadi batu uji bagi pemerintahan Prabowo Subianto: apakah benar serius memulihkan uang rakyat, atau hanya bermain retorika politik. DPR pun diuji: beranikah berpihak pada kepentingan bangsa atau kembali menjadi alat kekuasaan yang abai pada aspirasi rakyat?
Pada akhirnya, RUU Perampasan Aset bukan sekadar hitam di atas putih. Ia adalah cermin keberanian negara menghadapi penyakit kronis bernama korupsi. Jika DPR dan pemerintah kembali berkelit dengan alasan politik, maka rakyat akan mencatatnya sebagai pengkhianatan sejarah. Dan sejarah, sekali ditulis oleh rakyat, tidak akan pernah bisa dihapus oleh manuver elite.***