analisis

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Dampak mental stunting pejabat langsung menghantam rakyat. Proyek publik dipolitisasi, layanan dasar macet, sumber daya dikapling segelintir elite. Fenomena elite capture semakin telanjang: akses ke kekuasaan menjadi tiket utama untuk menyedot keuntungan, sementara mayoritas masyarakat hanya mendapat remah dari pesta pora kuasa.

Lebih berbahaya lagi, mental stunting pejabat menghancurkan sendi demokrasi. Rakyat dijejali janji pemilu, tetapi realitas sehari-hari menunjukkan pengkhianatan terhadap mandat publik. Hukum tampak tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Tak heran, survei demi survei menunjukkan menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Jika dibiarkan, bangsa ini hanya akan melahirkan generasi pemimpin yang makin pandai bersandiwara, tetapi makin kerdil dalam moral.

Kasus e-KTP yang menyeret Setya Novanto adalah bukti nyata. Proyek bernilai triliunan rupiah yang seharusnya menopang administrasi rakyat malah berubah jadi ladang bancakan. Semua pihak yang terlibat memainkan peran: politisi, birokrat, hingga pengusaha. Inilah wajah asli mental stunting: pejabat yang besar di jabatan, tetapi kerdil di jiwa.

Lebih mutakhir, kasus dugaan korupsi timah yang menyeret nama mantan pejabat tinggi dan pengusaha besar menunjukkan bahwa penyakit ini tak pernah benar-benar hilang. Sumber daya alam yang seharusnya menyejahterakan rakyat justru dikeruk demi segelintir elite. Nilainya triliunan, dampaknya merusak lingkungan sekaligus menjerumuskan negara dalam krisis kepercayaan. Apa bedanya dengan kleptokrasi? Hanya label dan bungkus hukumnya.

Baca Juga: Respons Ferry Irwandi Usai Namanya Disebut dalam Dugaan Pidana oleh Mabes TNI

Jalan Keluar: Memberangus, Bukan Membiarkan

Menghadapi mental stunting pejabat, solusi tidak bisa setengah hati. Negara harus membangun sistem yang benar-benar transparan dan akuntabel. Digitalisasi tata kelola anggaran, akses publik terhadap data kebijakan, hingga penguatan lembaga pengawas menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa itu, ruang gelap bagi praktik korupsi akan selalu terbuka.

Integritas juga harus ditanamkan sejak proses rekrutmen pejabat publik. Tidak cukup hanya menilai kompetensi teknis, negara perlu memastikan calon pejabat memiliki rekam jejak moral dan keberpihakan kepada rakyat. Pendidikan politik berbasis nilai Pancasila dan etika pelayanan publik harus menjadi fondasi, bukan sekadar formalitas.

Yang terpenting, penegakan hukum tegas tanpa pandang bulu adalah kunci. Selama masih ada “tebang pilih” dalam penanganan kasus korupsi, efek jera tidak pernah tercipta. Indonesia Corruption Watch mencatat, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 27,2 triliun hanya dalam semester I 2024, dengan tren keterlibatan pejabat publik yang terus meningkat (ICW, 2024). Angka ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti di jargon politik, melainkan diwujudkan lewat langkah nyata.

Baca Juga: iPhone Air Resmi Meluncur dengan Tampilan Tipis Ekstrem Tapi 9 Fitur Penting Dikurangi, Apakah Worth It Dibeli?

Karena itu, mental stunting pejabat harus diberangus habis-habisan. Bukan dengan slogan antikorupsi semata, melainkan lewat tindakan konkret. Sistem pengawasan mesti diperkuat, transparansi dijadikan budaya, bukan formalitas laporan tahunan. Penegakan hukum harus tegas, tanpa pandang bulu, agar efek jera benar-benar terasa. Dan yang tak kalah penting, integritas harus dibangun sejak dini—di ruang kelas, di partai politik, di birokrasi—agar kepemimpinan tidak lagi dikuasai mereka yang hanya pandai bermain kuasa.

Jika kita membiarkan pejabat tumbuh dengan mental stunting, kita sedang merawat lingkaran setan yang merugikan rakyat. Sebaliknya, bila keberanian hukum bertemu dengan kesadaran moral, lingkaran itu bisa dipatahkan. Bangsa besar membutuhkan pemimpin yang bukan hanya tinggi secara kuasa, tetapi juga dewasa secara jiwa. Tanpa itu, kita akan terus dipimpin oleh generasi yang tubuhnya gagah, tetapi jiwanya kerdil.***

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB