HUKAMANEWS – Bayangkan hidup hanya dengan Rp20 ribu per hari, jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli seporsi makan layak di kota besar. Namun angka itulah yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai batas garis kemiskinan nasional. Tapi benarkah ini mencerminkan kenyataan? Di tengah parade angka yang katanya membaik, kehidupan sebagian besar rakyat justru kian terhimpit.
Pengamat hukum dan politik, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menilai, definisi kemiskinan yang terlalu rendah justru berisiko menutupi kegagalan negara dalam menyejahterakan warganya. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menyebut, kemiskinan bukan hanya soal konsumsi harian, tapi soal akses, martabat, dan kesetaraan. Maka yang perlu dipertanyakan bukan hanya angka kemiskinan, tetapi juga logika politik dan ekonomi yang melandasinya: berpihak pada rakyat, atau pada narasi pencitraan semata. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
KETIKA Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa penduduk dikategorikan miskin jika pengeluarannya di bawah Rp20.305 per hari, banyak dari kita yang terdiam sejenak. Angka itu, yang jika dikalikan sebulan menjadi Rp609.160, menjadi garis penentu status "miskin" atau tidaknya seseorang di negeri ini. Namun, mari bertanya secara jujur: mungkinkah hidup layak di Indonesia hari ini dengan Rp20 ribu per hari?
Menurut peraih Nobel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, “sistem ekonomi kita gagal mensejahterakan sebagian besar rakyat, dan sistem politik kita dikuasai oleh kepentingan uang.” Pernyataan ini terasa sangat relevan saat melihat bagaimana angka-angka statistik digunakan untuk menyulap realitas. Dengan garis kemiskinan yang sangat rendah, negara bisa mengklaim bahwa tingkat kemiskinan menurun, sementara kenyataan di lapangan menunjukkan jutaan orang masih terjebak dalam kemiskinan struktural dan ketimpangan akut.
Data BPS pada Maret 2025 mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang—menurun dibandingkan September 2024. Gini ratio pun disebut membaik, dari 0,381 menjadi 0,375. Namun, di balik perayaan angka-angka tersebut, ada ironi yang mencolok: kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia—yang mengacu pada PPP (purchasing power parity) 2021 sebesar 3 dolar AS/hari—menunjukkan lonjakan drastis. Dengan acuan ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak menjadi 194,6 juta jiwa. Jauh berbeda dari versi resmi pemerintah.
Lantas, siapa yang harus kita percayai? BPS yang masih menggunakan PPP 2017 demi kesinambungan RPJMN 2025-2029, atau Bank Dunia yang memperbarui garis kemiskinan sesuai daya beli terkini? Deputi BPS Ateng Hartono menjelaskan bahwa metodologi BPS tetap mengacu pada data nasional agar selaras dengan perencanaan pembangunan. Tapi bukankah tujuan statistik adalah untuk merefleksikan realitas, bukan untuk menyenangkan pemerintah?
Presiden Prabowo dalam bukunya Paradoks Indonesia pernah menulis bahwa Indonesia mengalami "pertumbuhan tanpa pemerataan", bahwa kekayaan mengalir deras di atas, tapi tetesan ke bawah tak kunjung datang. Kini, ketika ia berada di tampuk kekuasaan, paradoks itu seharusnya menjadi alarm moral bahwa pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya dengan menurunkan angka di laporan statistik.
Lebih mengkhawatirkan, kesenjangan kian memburuk di perkotaan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2) meningkat di kota-kota, menandakan jurang antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Sementara itu, Jakarta sebagai pusat kekuasaan dan kemewahan mencatat gini ratio tertinggi di Indonesia: 0,441. Ini bukan sekadar angka, ini adalah potret ketidakadilan yang menahun.
Bahwa pemerintah mengklaim kemiskinan ekstrem tinggal 0,85 persen (2,38 juta jiwa) bisa jadi justru menyesatkan. Dengan batas ekstrem Rp33.000-an per hari (PPP 2017), seseorang yang berpenghasilan Rp35.000 per hari sudah dianggap “tidak ekstrem miskin”, meskipun masih jauh dari kehidupan layak.
Kritik bukan berarti menolak data, tapi mempertanyakan bagaimana data digunakan. Bila ukuran kemiskinan terlalu rendah, maka pengentasan kemiskinan hanya akan menjadi kosmetik. Kita perlu ukuran yang lebih manusiawi—bukan hanya angka minimum bertahan hidup, tetapi standar hidup layak yang mencakup akses pada air bersih, pendidikan berkualitas, transportasi yang layak, dan perlindungan sosial yang kuat.
Budayawan Sujiwo Tejo mengatakan, bau sampah kulit udang bagiku lebih enak ketimbang bau orang sok bermoral padahal bajingan. Pernyataan itu terasa pas untuk menggambarkan kemunafikan dalam kebijakan publik yang tampak manis di atas kertas, tetapi busuk di realitas sosial. Ketika angka-angka dipoles demi kepentingan citra, rakyat hanya menjadi korban dari ilusi statistik yang menyesatkan.
Joseph Stiglitz benar. Ketika sistem ekonomi tak mampu mendistribusikan kekayaan secara adil dan sistem politik dikooptasi oleh uang, maka angka kemiskinan akan terus dimanipulasi untuk kepentingan elite. Kita membutuhkan keberanian politik untuk mereformasi metode pengukuran, bukan demi statistik semata, tapi demi keadilan sosial.
Sebagai bangsa yang konon bercita-cita besar, sudah saatnya kita bertanya ulang: apakah Rp20 ribu cukup untuk menyebut seseorang tidak miskin? Atau justru kita semua sedang dibohongi oleh narasi statistik yang membius?***