analisis

Kejahatan Kerah Putih dan Murahnya Harga Keadilan

Kamis, 10 Juli 2025 | 12:58 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

HUKAMANEWS – Remisi dan pemotongan hukuman bagi pelaku kejahatan kerah putih kembali menjadi sorotan tajam yang mencederai rasa keadilan publik. Di tengah jerih payah pemberantasan korupsi, para bandit berdasi justru menikmati berbagai privilese hukum—dari vonis ringan hingga remisi beruntun—yang tak pernah dirasakan pelaku kejahatan kelas bawah. Fenomena ini menggerus kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum dan memperlihatkan betapa hukum di negeri ini kerap tunduk pada kuasa, bukan pada kebenaran.

Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya mengulas bagaimana lembaga peradilan kehilangan wibawa karena gagal mengarusutamakan keadilan substantif. Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan, jika hukum terus diperlakukan sebagai alat tawar-menawar, maka yang tumbang bukan hanya keadilan, tapi legitimasi negara. Berikut ini catatan lengkapnya. 

*** 

TIDAK ADA yang lebih melecehkan keadilan selain ketika para penjarah uang negara justru diperlakukan bak tamu kehormatan oleh sistem hukum. Di negeri ini, kejahatan kerah putih bukan hanya terus hidup, tapi kian dimanjakan dengan berbagai keringanan yang mencederai nalar publik. Hukuman ringan, remisi beruntun, hingga putusan peninjauan kembali yang absurd menjadi wajah nyata betapa hukum kita masih tunduk pada kuasa dan privilese. 

Berpuluh-puluh tahun, bangsa Indonesia mengalami krisis keadilan dalam penegakan hukum. Reformasi yang seharusnya membawa perubahan justru terjebak dalam formalisme prosedural: hukum ditegakkan, tetapi keadilan diabaikan. Inilah wajah penegakan hukum tanpa keadilan—situasi ketika proses hukum berjalan, tetapi nilai-nilai keadilan dikesampingkan.

Akibatnya, ketidaksetaraan hukum menjadi hal biasa, dan masyarakat perlahan kehilangan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melindungi mereka. Penegakan hukum yang tidak adil dapat memicu ketidakpuasan sosial yang dapat mengancam stabilitas masyarakat, dan merusak reputasi negara di mata dunia internasional. 

Kasus demi kasus membuktikan, pelaku kejahatan kerah putih kerap mendapat perlakuan istimewa dibanding pelaku kejahatan kelas teri. Di ruang sidang, mereka tampil rapi dan percaya diri, didampingi tim kuasa hukum yang piawai meracik pembelaan. Di luar ruang sidang, mereka dilayani dengan prosedur hukum yang longgar—vonis ringan, potongan masa tahanan, bahkan fasilitas mewah di balik jeruji. Ironi ini dipertontonkan di hadapan rakyat yang setiap hari disuruh percaya bahwa hukum berlaku sama bagi semua. 

Padahal, kejahatan kerah putih bukan sekadar pelanggaran hukum administratif. Ia adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan konstitusi. Ia merampas hak sosial, memperlebar ketimpangan, dan menyabotase pembangunan. Namun di ruang peradilan, pelakunya sering diperlakukan sebagai pesakitan istimewa yang layak mendapat empati dan kompromi.

Keistimewaan ini bukan kebetulan. Ia adalah hasil dari sistem hukum yang gagal membebaskan diri dari cengkeraman elitisme dan kepentingan politik. Ketika vonis dijadikan alat negosiasi kekuasaan, dan hukum hanya tegak di atas kalkulasi keuntungan, maka yang rusak bukan hanya putusan, melainkan seluruh fondasi keadilan. 

Negara makin tidak punya wibawa, karena lembaga peradilan, lembaga hukum, dan produk hukum tidak pernah sungguh-sungguh mengarusutamakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tak lagi menjadi pagar yang kokoh, melainkan pagar yang berlubang—mudah ditembus oleh mereka yang punya koneksi, kekuasaan, dan modal.

KPK dan lembaga penegak hukum lain mungkin masih berusaha berdiri tegak. Tapi apa gunanya kerja keras penyidik, jaksa, dan hakim, jika pada akhirnya pelaku kejahatan kerah putih justru mendapatkan jalan pintas menuju kebebasan? Hukuman yang seharusnya menjadi instrumen efek jera, kini berubah menjadi simbol kelemahan negara menghadapi kekuatan uang dan jejaring kuasa. 

Penjara, bagi mereka yang berduit dan berkedudukan, bukan lagi tempat menebus dosa, melainkan persinggahan singkat. Bahkan tak jarang, mereka kembali ke panggung kekuasaan tanpa rasa malu dan tanpa konsekuensi. Di sisi lain, rakyat kecil tersandung perkara sepele tetap diperlakukan sebagai musuh negara yang harus dihukum tanpa ampun.

Jika ini terus dibiarkan, maka generasi mendatang akan tumbuh dalam budaya sinis terhadap hukum. Mereka akan percaya bahwa keadilan adalah ilusi, bahwa hukum hanya berlaku untuk yang lemah, dan bahwa kekuasaan bisa membeli putusan. Ini adalah racun yang lambat tapi pasti merusak demokrasi dan stabilitas sosial. 

Negara hukum tidak bisa dijalankan dengan logika transaksional. Hukum harus menjadi penegas nilai moral dan penjaga kepercayaan publik. Bila kita terus memberi karpet merah kepada pelaku kejahatan kerah putih, maka yang tumbang bukan hanya hukum, tapi juga keadaban bangsa. 

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB