HUKAMANEWS – Pada Senin, 24 Februari 2025, halaman Istana Negara menjadi saksi sejarah lahirnya Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan entitas bisnis yang digadang-gadang sebagai terobosan dalam pengelolaan investasi nasional. Lebih dari sekadar pengelola dana, Danantara diharapkan menjadi instrumen pembangunan yang mengoptimalkan kekayaan Indonesia demi kesejahteraan rakyat.
Pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya menyebut bahwa Danantara berada di persimpangan antara harapan dan ancaman laten korupsi elite. Dengan potensi aset mencapai Rp 14.670 triliun, badan ini dapat menjadi lokomotif pembangunan nasional, tetapi juga bisa berubah menjadi skandal keuangan jika tidak diawasi ketat. Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengingatkan, mentalitas korup yang telah lama mengakar di lingkaran kekuasaan harus menjadi perhatian utama. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, Danantara hanya akan menjadi alat baru bagi elite serakah untuk memperkaya diri. Berikut ini catatan lengkapnya.
***
PENDIRIAN Danantara menandai babak baru dalam optimalisasi aset negara. Dengan total aset yang mencapai USD 900 miliar atau sekitar Rp 14.670 triliun, badan ini diproyeksikan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Presiden Prabowo menegaskan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Hal ini cukup melegakan, terutama setelah muncul kekhawatiran bahwa Danantara tidak dapat diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dikelola dengan baik, Danantara berpeluang menjadi sovereign wealth fund (SWF) sekelas Abu Dhabi Investment Authority, China Investment Corporation, atau Norges Bank.
Baca Juga: Harmoni untuk Bumi, Ketika Iman Menjadi Kekuatan dalam Perjuangan Melawan Krisis Iklim di Maluku
Mengacu pada pola pengelolaan Norges Bank, Danantara berpotensi berinteraksi dengan holding raksasa dunia seperti Apple, NVIDIA, Microsoft, dan Tesla. Namun, keberhasilan ini hanya dapat tercapai jika manajemen Danantara memiliki keberanian dan kehati-hatian dalam berinvestasi.
Danantara tidak boleh terjebak dalam fokus yang terlalu sempit pada sektor tertentu, seperti energi terbarukan (renewable energy), tanpa mempertimbangkan perkembangan industri teknologi global. Karena perkembangan industri teknologi sedang mengalami percepatan dengan berbagai lompatan inovasi yang dapat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi global. Kinerja Danantara harus mampu meningkatkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia sebagai pemain utama dalam investasi global.
Jika dikelola secara profesional dan menghasilkan return sebesar 7,5%–8% per tahun, Danantara dapat menjadi instrumen strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pembangunan nasional.
Baca Juga: Zakat Bisa Menjadi Pengurang Pajak, Kementerian Agama Tengah Pelajari Konsepnya
Bayang-Bayang Korupsi di Lingkaran Elite
Indonesia memiliki sejarah panjang korupsi yang mengakar dalam sistem birokrasi dan politik. Janji transparansi sering kali hanya menjadi retorika. Skandal keuangan seperti kasus Jiwasraya menjadi bukti nyata betapa buruknya pengelolaan dana publik ketika mentalitas korup masih bercokol dalam birokrasi dan elite politik.
Korupsi di Indonesia bukan hanya soal individu, melainkan sebuah sistem yang mengakar. Skema korupsi sering kali melibatkan pejabat tinggi, konglomerat, dan aktor politik yang bermain di balik layar. Dengan kekuatan finansial yang sangat besar, Danantara berisiko menjadi ladang baru bagi elite serakah yang ingin memperkaya diri.
Salah satu hal yang mencemaskan adalah adanya Pasal 3Y dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyebutkan bahwa Menteri BUMN, Dewan Pengawas, Badan Pelaksana, dan pegawai Danantara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian kecuali dalam kondisi tertentu. Celah hukum semacam ini bisa menjadi tameng bagi oknum yang ingin menyelewengkan dana rakyat tanpa takut konsekuensi hukum.