Fenomena ini adalah buah dari sistem yang menggiring rakyat ke jurang keputusasaan. Upah minimum yang tak manusiawi, biaya pendidikan yang melambung, dan layanan kesehatan yang amburadul memaksa orang mencari jalan pintas. Tapi setiap kali kita menyuap polisi lalu lintas atau memalsukan pajak, kita sedang menyiram akar korupsi yang sudah menggurita.
Kondisi ini makin kusut dengan penegakan hukum yang tak ubahnya seperti drama absurd. Vonis yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap banyak mengusik rasa keadilan. Kejaksaan Agung mencatat, 70% koruptor yang dihukum hanya menerima vonis di bawah 4 tahun—lebih ringan dari hukuman pencopet.
KPK, yang dulu ditakuti, kini jadi macan ompong. Revisi UU KPK pada 2019 mencabut kewenangan penyadapan dan mewajibkan izin sebelum penyelidikan—seperti meminta maling mengantri izin sebelum membobol rumah. Hasilnya? Pada 2023, KPK hanya menangani 78 kasus, turun drastis dari 192 kasus di 2018. Sementara itu, 65% kasus korupsi yang disidangkan justru menjerat pegawai rendahan, bukan aktor intelektualnya.
Bangkit dari Kubangan Korupsi
Jika korupsi adalah kanker, maka pengobatannya harus radikal—bukan sekadar obat penghilang rasa sakit.
- Transparansi Total dengan Teknologi Blockchain
Setiap rupiah APBN harus bisa dilacak publik secara real-time. Contoh sukses ada di Estonia, di mana semua transaksi pemerintah tercatat di sistem blockchain. Jika pejabat menggelapkan Rp 1 juta saja, alarm berbunyi. Teknologi ini bisa dipakai untuk e-budgeting, lelang proyek, hingga distribusi bansos.
- Hukuman yang Membuat Koruptor Trauma
Singapura menerapkan hukuman maksimal 5 tahun penjara untuk koruptor. Meskipun mendapatkan hukuman penjara yang relatif singkat, namun negeri Singa ini memberikan sanksi sosial yang berat mulai dari menandai KTP, mencabut SIM, hingga memiskinkan mereka. Di China, hukuman mati masih berlaku. Indonesia perlu mencontoh ini: sita seluruh aset koruptor, cabut hak politik seumur hidup, dan publikasikan nama mereka di billboard sebagai “musuh negara”.
- Pendidikan Anti-Korupsi Sejak TK
Finlandia membasmi korupsi dengan mengajarkan integritas sejak usia dini. Di Indonesia, kurikulum harus menyisipkan cerita tentang pahlawan seperti Hoegeng atau aktivis seperti Munir—bukan sekadar hafalan teori. Setiap sekolah wajib memiliki “klinik anti-korupsi” tempat siswa melaporkan kecurangan.
Baca Juga: Usai Lagunya Viral Bayar, Bayar, Bayar Polisi, Kapolri Ajak Band Sukatani Jadi Duta Polri
Kemajuan sebuah Negara terletak pada kecerdasan rakyat memilih pemimpin, bukan oleh karena pemberian bantuan sosial. Hukum tidak mencari-cari kesalahan orang, tetapi hukum menemukan kesalahan orang.
Negeri ini bisa sembuh jika kita berani membongkar seluruh sistem busuknya. Bukan dengan mengandalkan “figur suci”, tetapi dengan membangun gerakan kolektif. Karena, korupsi akan berhenti ketika kita memutus untuk tidak lagi jadi penonton.
Kita mungkin mewarisi negeri yang sakit, tapi kita tak boleh mewariskannya sebagai kuburan bagi generasi berikutnya. Di ujung kegelapan, selalu ada cahaya—asal kita mau menyalakan lilin, bukan mengutuk gelap.***