analisis

Korupsi dan Ironi Demokrasi, ketika Suara Rakyat Dijual di Pasar Gelap

Senin, 24 Februari 2025 | 07:00 WIB
Dr. Pieter C Zulkifli, SH. MH.

Fenomena ini adalah buah dari sistem yang menggiring rakyat ke jurang keputusasaan. Upah minimum yang tak manusiawi, biaya pendidikan yang melambung, dan layanan kesehatan yang amburadul memaksa orang mencari jalan pintas. Tapi setiap kali kita menyuap polisi lalu lintas atau memalsukan pajak, kita sedang menyiram akar korupsi yang sudah menggurita. 

Kondisi ini makin kusut dengan penegakan hukum yang tak ubahnya seperti drama absurd. Vonis yang dijatuhkan kepada koruptor kelas kakap banyak mengusik rasa keadilan. Kejaksaan Agung mencatat, 70% koruptor yang dihukum hanya menerima vonis di bawah 4 tahun—lebih ringan dari hukuman pencopet. 

KPK, yang dulu ditakuti, kini jadi macan ompong. Revisi UU KPK pada 2019 mencabut kewenangan penyadapan dan mewajibkan izin sebelum penyelidikan—seperti meminta maling mengantri izin sebelum membobol rumah. Hasilnya? Pada 2023, KPK hanya menangani 78 kasus, turun drastis dari 192 kasus di 2018. Sementara itu, 65% kasus korupsi yang disidangkan justru menjerat pegawai rendahan, bukan aktor intelektualnya. 

Ilustrasi. Korupsi dan Ironi Demokrasi, ketika Suara Rakyat Dijual di Pasar Gelap

Bangkit dari Kubangan Korupsi

Jika korupsi adalah kanker, maka pengobatannya harus radikal—bukan sekadar obat penghilang rasa sakit. 

  1. Transparansi Total dengan Teknologi Blockchain

   Setiap rupiah APBN harus bisa dilacak publik secara real-time. Contoh sukses ada di Estonia, di mana semua transaksi pemerintah tercatat di sistem blockchain. Jika pejabat menggelapkan Rp 1 juta saja, alarm berbunyi. Teknologi ini bisa dipakai untuk e-budgeting, lelang proyek, hingga distribusi bansos. 

  1. Hukuman yang Membuat Koruptor Trauma

   Singapura menerapkan hukuman maksimal 5 tahun penjara untuk koruptor. Meskipun mendapatkan hukuman penjara yang relatif singkat, namun negeri Singa ini memberikan sanksi sosial yang berat mulai dari menandai KTP, mencabut SIM, hingga memiskinkan mereka. Di China, hukuman mati masih berlaku. Indonesia perlu mencontoh ini: sita seluruh aset koruptor, cabut hak politik seumur hidup, dan publikasikan nama mereka di billboard sebagai “musuh negara”. 

  1. Pendidikan Anti-Korupsi Sejak TK

   Finlandia membasmi korupsi dengan mengajarkan integritas sejak usia dini. Di Indonesia, kurikulum harus menyisipkan cerita tentang pahlawan seperti Hoegeng atau aktivis seperti Munir—bukan sekadar hafalan teori. Setiap sekolah wajib memiliki “klinik anti-korupsi” tempat siswa melaporkan kecurangan. 

Baca Juga: Usai Lagunya Viral Bayar, Bayar, Bayar Polisi, Kapolri Ajak Band Sukatani Jadi Duta Polri 

Kemajuan sebuah Negara terletak pada kecerdasan rakyat memilih pemimpin, bukan oleh karena pemberian bantuan sosial. Hukum tidak mencari-cari kesalahan orang, tetapi hukum menemukan kesalahan orang.

Negeri ini bisa sembuh jika kita berani membongkar seluruh sistem busuknya. Bukan dengan mengandalkan “figur suci”, tetapi dengan membangun gerakan kolektif. Karena, korupsi akan berhenti ketika kita memutus untuk tidak lagi jadi penonton. 

Kita mungkin mewarisi negeri yang sakit, tapi kita tak boleh mewariskannya sebagai kuburan bagi generasi berikutnya. Di ujung kegelapan, selalu ada cahaya—asal kita mau menyalakan lilin, bukan mengutuk gelap.***

Halaman:

Tags

Terkini

Membenahi Gagap Nalar Peradilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:37 WIB

Bandara IMIP dan Hilangnya Kedaulatan Negara

Kamis, 27 November 2025 | 15:06 WIB

Rapuhnya Integritas “Wakil Tuhan di Muka Bumi”

Senin, 27 Oktober 2025 | 10:00 WIB

DPR dan Mutu Rendah Legislasi

Senin, 13 Oktober 2025 | 07:00 WIB

Jalan Terjal Mengembalikan Akal Sehat Kekuasaan

Senin, 6 Oktober 2025 | 12:00 WIB

“Mental Stunting” Pejabat

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi

Senin, 8 September 2025 | 11:00 WIB

Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 22:00 WIB