HUKAMANEWS – Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 menuai protes keras, terutama dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang merasa beban ekonomi mereka semakin berat. Di sisi lain, pemerintah juga berencana melanjutkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) bagi pengemplang pajak, yang banyak melibatkan kalangan kaya dan korporasi besar.
Kebijakan paradoks ini mememicu perdebatan: di saat rakyat kecil semakin dibebani pajak, justru pengemplang pajak diberikan jalan lebar untuk lepas dari kewajibannya tanpa konsekuensi yang berarti.
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulifli, SH., MH., dalam catatan analisis politiknya berharap pemerintah lebih kreatif mencari sumber pendapatan negara tanpa merugikan rakyat kecil. Di sisi lain, diperlukan langkah yang lebih bijaksana, bukan hanya untuk memperkuat APBN, tetapi juga untuk memastikan bahwa prinsip keadilan tetap tegak di tengah rakyat. Berikut ini catatan lengkapnya
***
RENCANA pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025 menjadi momok bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Pada saat yang sama, pemerintah dan DPR justru menawarkan program tax amnesty atau pengampunan pajak bagi para pengemplang, yang sebagian besar berasal dari kelompok kaya dan korporasi besar.
Kondisi ini menyisakan satu pertanyaan besar: di mana letak keadilan?
Kenaikan PPN menjadi 12 persen dirancang untuk memperkuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung berbagai program penting, seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, kebijakan ini menghadirkan beban berat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama di tengah daya beli yang melemah.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal ketiga tahun ini, menggambarkan kondisi ekonomi rakyat yang semakin terhimpit.
Baca Juga: Detik-Detik Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Terseret OTT KPK, Uang Rp 7 Miliar Disita!
Karpet Merah untuk Pengemplang Pajak
Sementara itu, tax amnesty kembali diusulkan dengan alasan menggenjot pendapatan negara dari harta yang selama ini tersembunyi. Meski berhasil mengungkap harta triliunan rupiah pada kebijakan serupa pada tahun 2016 dan 2021, program ini dinilai menurunkan kredibilitas pemerintah. Pemerintah memang berhasil meraup triliunan rupiah dari pajak yang dibayarkan, namun hasil tersebut tidak sebanding dengan target dan telah mengorbankan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Banyak pihak beranggapan bahwa tax amnesty mengirimkan pesan yang salah: bahwa aturan pajak dapat dilanggar, selama ada peluang untuk diampuni.
Bagi masyarakat yang taat pajak, kebijakan ini adalah penghinaan. “Mengapa kita harus disiplin jika pengemplang pajak justru dimanjakan?” menjadi pertanyaan yang sering muncul di ruang publik. Ditambah lagi, kenaikan PPN dianggap sebagai beban ganda bagi masyarakat luas, terutama saat ekonomi belum sepenuhnya pulih.