HUKAMANEWS – Terpilihnya Setyo Budiyanto menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk periode 2024-2029 menandai awal babak baru bagi lembaga antirasuah. Bersama empat pimpinan lainnya, termasuk Johanis Tanak yang kembali menjabat, komposisi baru ini menggambarkan dominasi aparat penegak hukum—jaksa, polisi, dan hakim—dalam struktur kepemimpinan KPK.
Keputusan yang diambil melalui Komisi III DPR tersebut menuai pertanyaan publik: Apakah KPK masih dapat mempertahankan perannya sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi?
Pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analisis politiknya menyebutkan bahwa dominasi aparat penegak hukum dalam struktur kepemimpinan KPK sebagai langkah mundur yang bisa melemahkan peran penting lembaga antirasuah ini dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, tulis Pieter, independensi KPK akan menjadi taruhan di tengah kepercayaan publik yang makin tergerus. Berikut catatan lengkapnya.
***
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK), kini resmi memiliki pimpinan baru. Kemarin, tepatnya Kamis, 21 November 2024, Komisi III DPR RI melakukan pemilihan untuk menentukan siapa yang akan mengisi lima kursi pimpinan KPK. Hasilnya, Setyo Budiyanto terpilih sebagai Ketua KPK, dengan dukungan 45 suara. Keputusan ini menandai babak baru dalam sejarah lembaga antirasuah yang beberapa waktu terakhir menghadapi tantangan berat untuk meraih kembali kepercayaan publik yang telah memudar.
Tentu saja, pemilihan pimpinan baru ini bukan hanya soal proses administrasi atau voting politik semata. Pilihan anggota dewan pengawas dan pimpinan yang dominan dari kalangan polisi, jaksa, dan hakim, semakin mengukuhkan kecemasan publik bahwa KPK tak lagi mampu memposisikan diri sebagai garda terdepan dalam perang melawan korupsi.
Terlebih lagi, posisi KPK kini tengah terancam dengan adanya upaya-upaya yang bisa melemahkan fungsinya, alih-alih yang juga dilakukan oleh internal mereka. Salah satu upaya pelemahan KPK tersebut yakni dengan rencana untuk menghapuskan operasi tangkap tangan (OTT), salah satu instrumen penting dalam penindakan korupsi, yang justru diusulkan oleh salah satu pimpinan terpilih saat ini.
Adalah Johanis Tanak, yang kembali terpilih sebagai komisioner KPK, pernah berjanji dalam fit and proper test untuk menghapus OTT jika terpilih sebagai pimpinan. Kekhawatiran ini semakin nyata dengan terpilihnya Wisnu Baroto sebagai anggota Dewan Pengawas KPK yang juga sependapat dengan penghapusan OTT.
Meskipun mendapat sorak riuh di di ruang sidang Komisi III DPR, namun janji ini justru menuai keprihatinan banyak pihak, karena OTT telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam menangkap koruptor di saat mereka melakukan transaksi rasuah. Karena, keberhasilan OTT tidak hanya terletak pada penangkapan langsung pelaku korupsi, tetapi juga memberi efek jera yang besar. Tanpa OTT, KPK berisiko kehilangan daya serangnya dalam perang melawan rasuah.
Tidak hanya itu, KPK juga menghadapi kenyataan pahit bahwa meskipun memiliki kewenangan untuk melakukan penyadapan, lembaga ini harus bergantung pada persetujuan Dewan Pengawas KPK, yang kini menjadi bagian dari struktur yang lebih besar dalam mempengaruhi independensi lembaga.
Revisi Undang-Undang KPK 2019 menjadi awal mula pelemahan sistematis lembaga antirasuah ini. Dengan independensi yang tergerus, ditambah persetujuan Dewan Pengawas yang wajib untuk penyadapan, kekuatan KPK tak lagi sama. Terlebih, survei menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di titik terendah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya. KPK hanya mendapat 65 persen kepercayaan, lebih rendah dibandingkan dengan kejaksaan dan kepolisian yang masing-masing mendapatkan 75 persen dan 69 persen.