HUKAMANEWS - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang sebagai warisan mulia Presiden Prabowo, justru berpotensi menjelma menjadi tragedi nasional. Ribuan anak keracunan massal, tata kelola amburadul, hingga dugaan konflik kepentingan dan korupsi berjamaah menyingkap wajah kelam di balik janji gizi untuk rakyat.
Dalam catatan analisisnya, Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, pengamat hukum dan politik, menegaskan bahwa ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk kelalaian negara yang berbahaya. Jika dibiarkan, tragedi ini bisa menggerus legitimasi pemerintahan sejak dini dan mencederai amanah konstitusi.
***
Program Makan Bergizi Gratis terjerat krisis tata kelola, keracunan massal anak sekolah, dan dugaan korupsi yang ancam legitimasi Prabowo.
PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo semestinya menjadi tonggak baru upaya negara melawan stunting dan gizi buruk. Dengan target awal menjangkau 22,7 juta penerima dan rencana perluasan hingga 82,9 juta anak serta kelompok rentan, program ini berdiri di atas fondasi konstitusi: negara wajib menyejahterakan rakyatnya.
Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang disiapkan mencapai ratusan triliun rupiah, menjadikan MBG sebagai salah satu proyek sosial terbesar dalam sejarah republik. Harapan yang dibawa pun besar, bahwa generasi mendatang akan tumbuh lebih sehat, lebih kuat, dan lebih berdaya.
Namun, apa yang terjadi di lapangan jauh dari narasi manis yang digadang pemerintah. Sejak awal September 2025, kasus keracunan massal akibat makanan yang disediakan MBG merebak di berbagai daerah. Di Bandung Barat, puluhan siswa harus dilarikan ke fasilitas kesehatan. Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahkan mencatat lebih dari 5.300 korban keracunan dari 55 kasus hanya dalam dua minggu pertama bulan itu.
Angka tersebut mengerikan bukan semata karena jumlahnya, tetapi karena korban adalah anak-anak, generasi yang hendak dilindungi program ini. Ironisnya, alih-alih menyampaikan transparansi, beberapa sekolah justru menyebarkan surat yang melarang murid dan orang tua mengungkapkan insiden keracunan. Praktik yang seolah hendak menutup rapat kegagalan negara.
Tidak berhenti di masalah keamanan pangan, MBG juga diguncang isu serius soal tata kelola dan integritas anggaran. Sejumlah dapur mitra mengaku belum dibayar meski telah memasak puluhan ribu porsi makanan. Para pekerja di Madura memilih mogok lantaran upah tidak sesuai janji.
Di balik layar, tudingan lebih keras dilontarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII). ICW menilai MBG sarat konflik kepentingan, sementara TII menemukan potensi korupsi sistemik lewat kajian risiko. Dari tidak adanya payung hukum berupa Perpres, hingga pengadaan barang dan jasa yang rawan manipulasi, semuanya menunjukkan bahwa MBG bukan sekadar tergelincir, melainkan sejak awal dibangun di atas fondasi rapuh.
Baca Juga: Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Ketika Jalan Pintas Kekuasaan Menelikung Etika Hukum
Moratorium atau Reformasi?
Secara filosofis, MBG mencerminkan nilai luhur Pancasila, terutama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan prevalensi stunting masih 19,8 persen menurut Survei Status Gizi Indonesia 2024, program ini secara moral tidak bisa ditunda. Namun, niat baik ternyata mudah terjerat praktik buruk birokrasi, lemahnya pengawasan, dan bahkan potensi korupsi berjamaah. Jika tidak segera dibenahi, MBG akan dikenang bukan sebagai warisan kebaikan, melainkan sebagai tragedi nasional yang mempermalukan negara di hadapan rakyatnya sendiri.
Artikel Terkait
Menyulam Tenun Kebangsaan, Menjaga Indonesia
Keadilan Fiskal dan Martabat Demokrasi
“Mental Stunting” Pejabat
Dari Demonstrasi ke Meja Legislasi: RUU Perampasan Aset dan Ujian Moral Elite
Reshuffle Babak Tiga: Prabowo dan Kabinet yang (Tak Kunjung) Berbenah