HUKAMANEWS - Kebakaran yang terjadi di kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 8 Februari 2025, menjadi babak baru dalam serial kebakaran misterius yang kerap terjadi di lembaga-lembaga negara. Peristiwa ini menambah daftar panjang insiden serupa yang terjadi di saat institusi terkait tengah menghadapi isu besar atau dugaan korupsi yang melibatkan elite politik dan pengusaha besar.
Pengamat hukum dan Politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, dalam catatan analisis politiknya menyebut, kebakaran misterius di kantor ATR/BPN menjadi potret buram dari persoalan yang lebih besar, yakni budaya korupsi yang masih mengakar kuat di Indonesia. Mantan Ketua Komisi III DPR ini menyebut, di tengah berbagai kasus korupsi yang menyeret elite politik dan pengusaha besar, pola kebakaran semacam ini justru mempertegas betapa sulitnya memberantas praktik busuk yang telah menjadi benang kusut dalam sistem pemerintahan. Berkut ini tulisan lengkapnya.
***
DINAMIKA politik Indonesia kerap diwarnai oleh perilaku elite yang korup. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghambat kemajuan bangsa. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan elite lintas lembaga dan institusi telah menjadi momok yang sulit diberantas, bahkan oleh pemimpin negara sekalipun. Salah satu contoh yang mencolok adalah kebakaran misterius di kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) baru-baru ini, yang memicu berbagai spekulasi dan pertanyaan kritis dari masyarakat.
Baca Juga: Kekuatan Sejati Lahir dari Ujian Terberat
Kebakaran yang terjadi di kantor Kementerian ATR/BPN pada 8 Februari 2025 menjadi babak baru dalam serial kebakaran misterius yang kerap terjadi di lembaga-lembaga negara. Peristiwa ini menambah daftar panjang insiden serupa yang terjadi saat institusi terkait tengah menghadapi isu besar atau dugaan korupsi yang melibatkan elite politik dan pengusaha besar.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kasus-kasus sebelumnya. Pada 2020, kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung terjadi di tengah pengusutan skandal Pinangki dan kasus Djoko Tjandra. Kemudian, kebakaran di Gedung Bareskrim terjadi saat publik ramai membicarakan skandal Ferdy Sambo dan Konsorsium Judi 303. Kini, kebakaran di ATR/BPN muncul di tengah penyelidikan kasus pagar laut Tangerang yang diduga melibatkan banyak elite politik dan pengusaha kelas kakap.
Pola kebakaran yang terjadi di instansi-instansi pemerintah ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ini kebetulan? Atau ada pola yang lebih besar? Masyarakat tidak bisa disalahkan jika mereka curiga bahwa kebakaran ini sengaja dilakukan untuk menghilangkan barang bukti atau mengalihkan perhatian dari kasus korupsi yang sedang diusut. Apalagi, dalam kasus kebakaran di ATR/BPN, disebutkan bahwa CCTV rusak, sehingga sulit untuk melacak penyebab sebenarnya. Ini semakin menambah kecurigaan bahwa ada upaya sistematis untuk menutupi kebenaran.
Baca Juga: Trump Resmi Cabut Akses Biden ke Informasi Rahasia, Balas Dendam Politik Dimulai?
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, mencoba meredam spekulasi dengan menyatakan bahwa kebakaran mungkin disebabkan oleh kelalaian pegawai yang lupa mematikan komputer. Namun, penjelasan ini terasa terlalu sederhana dan tidak memuaskan. Apalagi, kebakaran terjadi di ruangan Biro Humas, yang menurut Nusron, tidak menyimpan dokumen penting seperti hak guna bangunan (HGB) atau hak guna usaha (HGU). Tapi, apakah ini berarti tidak ada dokumen lain yang mungkin relevan dengan kasus pagar laut Tangerang? Ataukah ini justru upaya untuk mengalihkan perhatian dari dokumen-dokumen yang mungkin telah hilang atau rusak dalam kebakaran?
Budaya Korupsi dan Politik Sandera
Kebakaran di kantor ATR/BPN hanyalah satu contoh kecil dari budaya korupsi yang masih mengakar kuat di Indonesia. Elite politik dan pengusaha yang terlibat dalam praktik korupsi seringkali menggunakan berbagai cara untuk melindungi diri mereka, termasuk dengan menghilangkan barang bukti atau mengalihkan perhatian publik. Ini adalah bentuk "politik sandera" di mana kepentingan pribadi dan kelompok diutamakan di atas kepentingan negara dan rakyat.
Salah satu faktor utama yang menghambat Indonesia menjadi negara maju adalah praktik politik sandera yang dilakukan oleh elite lintas institusi. Politik sandera terjadi ketika elite politik dan aparat hukum saling menahan kartu truf satu sama lain sehingga menciptakan jaringan korupsi yang sulit ditembus. Para pemimpin negara, betapapun kuatnya visi mereka, akan kesulitan menindak tegas praktik korupsi karena setiap tindakan keras bisa memicu reaksi berantai dari kelompok-kelompok yang merasa terancam.
Baca Juga: Aset Rumah yang Dimiliki Salah Satu Tokoh Terkorup Dunia versi OCCRP Sheikh Hasina Dibakar Massa
Artikel Terkait
Para Perampok yang Bersembunyi di Balik Atribut Kekuasaan
Kejujuran Fondasi Bangsa yang Terlupakan
Kasus Pagar Laut: Pemerintah Tidak Boleh Gegabah, Pahami Undang-Undang
Gaduh Pagar Laut, Framing Politik Berkedok Kepentingan Publik, Fakta di Balik Serangan PSN PIK 2
Pelajaran Politik dari Kisruh Elpiji 3 Kg
Kasus Pagar Laut Tangerang, Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta, Bukan Asumsi Ceroboh