“Inilah yang membuat masalah semakin kompleks. Konten anak yang terekspos bisa berpindah-pindah platform tanpa kendali,” tambahnya.
Karena itu, menurut Prof. Atie, pengawasan tidak cukup hanya mengandalkan regulasi formal. Literasi media di tingkat keluarga menjadi sangat penting. Orang tua harus memahami manfaat sekaligus risiko media sosial sebelum mengunggah konten anak.
Baca Juga: Dari Ternate, Muhammadiyah Menyalakan Cahaya Transisi Energi
“Literasi media adalah kunci. Orang tua perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah konten ini aman untuk anak saya di masa depan?” tegasnya.
Dengan membahas persoalan sharenting secara terbuka dalam sebuah diskusi, diharapkan dapat semakin membuka kesadaran publik bahwa sharenting bukan sekadar tren lucu-lucuan, tetapi fenomena yang bisa berdampak serius pada tumbuh kembang anak.
Dengan penguatan literasi media dan implementasi regulasi yang lebih baik, perlindungan anak di era konvergensi media diharapkan bisa semakin kuat.
Bukan Sekadar Lucu, Sharenting Bisa Jadi Bentuk Eksploitasi Anak di Era Media Digital
Artikel Terkait
Pendidikan dan Kesehatan: Pilar Peradaban yang Terabaikan di Tengah Elite Korup dan Kepemimpinan yang Kehilangan Arah
Politisi Ini Minta Pemerintah Perhatikan Mandat Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN, Khusus Wilayah Timur Pendidikan Jangan Tertinggal Terus
Nadiem Disorot! KPK Ajak Kejagung dan Polri Bongkar Borok Proyek Digitalisasi Pendidikan Senilai Rp1,9 Triliun
Kejagung dan KPK Sepakat Perkuat Koordinasi Bongkar Korupsi Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek
Megawati Sindir Anak Muda Lebih Hafal Idol Korea daripada Pahlawan RI, Mendikdasmen Pastikan Nasionalisme Jadi Prioritas Pendidikan