HUKAMANEWS - Di saat banyak perguruan tinggi masih ragu melangkah ke arah efisiensi energi karena dianggap mahal dan rumit, Universitas Ahmad Dahlan (UAD) justru menjadikan efisiensi energi sebagai kebijakan strategis jangka panjang. Tidak hanya untuk menekan biaya operasional, namun juga sebagai bentuk tanggung jawab moral dan ekologis di tengah krisis iklim global.
“Efisiensi energi di UAD tidak lahir dari tekanan eksternal. Ini adalah dorongan internal karena kami menyadari bahwa kampus memiliki tanggung jawab sosial dan ekologis,” ujar Ahid, perwakilan dari tim efisiensi energi UAD.
“Ini bukan sekadar penghematan listrik, tapi soal membangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan tinggi harus jadi teladan menghadapi krisis lingkungan,” lanjutnya.
Mulai dari Hal Kecil, Berdampak Besar
Kesadaran bahwa perubahan tidak harus dimulai dari hal besar menjadi prinsip dasar gerakan efisiensi energi di UAD. Kampus yang berada di jantung Kota Yogyakarta ini memulainya dengan mengganti lampu konvensional menjadi LED, beralih ke AC inverter yang lebih hemat energi, serta mendorong budaya mematikan peralatan elektronik saat tidak digunakan.
Langkah konkret lain terlihat di Kampus 4 UAD, di mana seluruh penerangan luar ruangan sudah memanfaatkan tenaga surya.
“Ini menunjukkan keseriusan kami dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” kata Ahid.
Pada 2024, UAD membentuk tim efisiensi energi yang langsung bergerak cepat melakukan audit energi, mengidentifikasi titik pemborosan, dan menyusun strategi penghematan yang realistis. Bersama mitra seperti Seribu Cahaya, tim ini mendapat pelatihan teknis yang memperkuat kapasitas mereka.
Hasilnya terasa nyata. Meskipun gedung baru delapan lantai mulai beroperasi, tagihan listrik tetap stabil.
“Awalnya kami prediksi bisa naik hingga Rp200 juta per bulan, tapi nyatanya tetap terkendali,” jelas Ahid.
Pendekatan Perilaku Jadi Kunci
Keberhasilan efisiensi energi di UAD tidak hanya bertumpu pada teknologi, tapi lebih pada perubahan perilaku. Pendekatan persuasif digunakan untuk membangun kesadaran warga kampus. Sosialisasi hemat energi dilakukan lewat berbagai saluran, seperti grup WhatsApp civitas akademika, terutama saat libur panjang.
“Kami tidak ingin gerakan ini jadi beban. Maka pendekatannya empatik, bukan koersif,” ujar Ahid. Meski sempat ada resistensi karena dianggap mengurangi kenyamanan, edukasi yang konsisten berhasil menumbuhkan rasa memiliki terhadap gerakan hemat energi.
Perubahan budaya memang butuh waktu, namun UAD menunjukkan bahwa pendekatan yang konsisten dan manusiawi bisa menembus sekat-sekat kebiasaan lama.
Artikel Terkait
Ganti Nama, SPMB Tetap Saja Curang dan Gagap Bagi Penyandang Disabilitas
Melongok Sekolah Rakyat, Didalamnya Ada Harapan Baru, Tidak Asal Sekolah
Gibran Minta Kunjungan Orangtua ke Sekolah Rakyat Dibatasi, Biar Anak Kerasan
Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Ketika Jalan Pintas Kekuasaan Menelikung Etika Hukum
Hemat Energi, Gaya Hidup Islami, Ibu Jadi Garda Terdepan Penjaga Bumi