HUKAMANEWS - Kebebasan berekspresi adalah nafas utama demokrasi. Tanpa itu, suara rakyat bisa dengan mudah dibungkam, kritik dipadamkan, dan kebenaran dikaburkan. Sayangnya, di banyak negara, kebebasan ini justru menjadi sasaran empuk kekuasaan yang anti-kritik. Thailand dan Myanmar adalah contoh nyata bagaimana penguasa berupaya menekan suara-suara yang berbeda, membungkam oposisi, dan mengekang hak dasar warganya.
Tapi bagaimana dengan Indonesia? Apakah kebebasan berekspresi di negeri ini benar-benar aman dari ancaman? Ataukah kita sedang berjalan menuju kondisi yang sama, di mana kritik dibungkam dan kebebasan perlahan tergerus?
Ahsan Jamet Hamidi, Wakil Sekretaris LPCRPM Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Anggota AJI Jakarta Biro Banten, menggambarkan kegelisahannya dalam tulisan berikut ini.
***
KELUARGA kerajaan Thailand dilindungi oleh lese majeste, sebuah aturan hukum yang mengatur perilaku warga berkaitan dengan keluarga kerajaan. Kebijakan ini dinilai sebagai peraturan paling ketat di dunia. Ada pasal yang melindungi anggota keluarga kerajaan dari segala bentuk hinaan atau ancaman. Misalnya, dalam Pasal 112 disebutkan bahwa seseorang yang "merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan" akan dihukum penjara hingga 15 tahun.
Baru-baru ini, Pengadilan Banding di kota utara Chiang Rai, Thailand, telah menjatuhkan hukuman 50 tahun penjara kepada Mongkol Thirakot, seorang mantan aktivis pro-demokrasi, karena postingan di akun Facebook pribadinya. Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Anchan, seorang perempuan, dengan penjara selama 43 tahun karena mengunggah klip audio dari podcast di YouTube dan Facebook. Awalnya, ia dijatuhi hukuman 87 tahun, namun setelah mengaku bersalah, hukuman tersebut dipotong setengah.
Berbeda dengan Thailand, Myanmar, negara yang dikuasai oleh junta militer, juga memberlakukan kekejaman yang sama terhadap warganya yang gemar mengkritik rezim penguasa. Menurut laporan Radio Free Asia, sebuah organisasi independen yang menyoroti intoleransi penguasa militer terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi, rezim Myanmar telah menangkap lebih dari 1.300 warga karena melontarkan kritik online dalam 20 bulan terakhir.
Sebelum ditangkap, mereka dijadikan sasaran teror oleh para pendukung junta militer. Data pribadi pengkritik akan disebar di media sosial agar mudah diketahui publik. Data for Myanmar melaporkan bahwa junta militer telah menahan rata-rata 65 orang setiap bulannya. Sebagian besar adalah para pengguna Facebook yang mengkritik perilaku junta militer.
Aksi para penguasa yang gemar membungkam kebebasan berekspresi itu tidak menyurutkan tekad para pegiat media dan Hak Asasi Manusia untuk terus menyuarakan kebebasan. Mereka terus berjuang agar segala informasi terkait perilaku buruk yang melanggar hukum dari para pejabat pemerintah bisa diketahui publik. Kejahatan rezim penguasa Myanmar semakin sempurna karena mendasarkan tindakannya pada undang-undang antiterorisme. Para pengkritik dianggap telah memicu tindakan teroris. “Padahal sebenarnya mereka sendiri yang melakukan terorisme,” ungkap Kyaw Zaw, juru bicara kantor kepresidenan NUG alias Pemerintahan Persatuan Nasional Republik Persatuan Myanmar yang berada di pengasingan.
Ruang kebebasan berekspresi di kedua negara tersebut telah terkunci. Suara kritik dari warga ataupun media dibalas dengan penangkapan dan penjara. Akibatnya bisa ditebak, tidak ada lagi partisipasi warga, sikap kritis, dan kontrol atas segala bentuk pelanggaran hukum oleh mereka yang sedang berkuasa. Kekuasaan akan terus digenggam kuat di tangan satu rezim saja. Pelanggaran hukum dan kekerasan akan dianggap benar selama untuk melanggengkan kekuasaan.
Ruang Kebebasan Berekspresi di Indonesia?
Saya bersyukur menjadi warga negara Indonesia yang konstitusinya menjamin adanya kebebasan berekspresi bagi seluruh warga negaranya. Jaminan itu tertulis pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Konstitusi adalah hukum tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, warga dan seluruh komponen penyelenggara negara wajib menaatinya. Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi warga yang harus dipenuhi. Ruang itu harus dijaga agar bisa digunakan sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi. Aspirasi warga dan media tidak boleh dibatasi, sepanjang ia tidak melanggar undang-undang. Aspirasi bisa berwujud usulan, peringatan, hingga kritik. Ia muncul sebagai pertanda bahwa suatu negara demokrasi itu sehat.
Kebebasan berekspresi dijaga untuk memastikan bahwa suara kritis warga dan media muncul ketika ada kebijakan atau pelanggaran oleh para penyelenggara negara yang bertentangan dengan undang-undang. Dalam sistem demokrasi, hak untuk menyuarakan kepentingan warga yang berpotensi akan atau telah dilanggar haknya itu harus dijamin. Sekeras apapun suara yang didengungkan, kritik harus disikapi dengan bijaksana. Karena salah satu risiko dari menjadi pemimpin atau pejabat publik adalah kesediaannya menerima kritik dari warga sebagai pemilik kedaulatan.