Kritik Harus Dijamin
Berbeda dengan sistem Kerajaan, dalam sebuah negara yang menganut kedaulatan ada di tangan rakyat, seorang pemimpin bisa mendapatkan kuasa dan jabatan atas pilihan dari suara rakyat. Sehebat apapun orang tersebut, ketika rakyat tidak memilihnya, maka ia akan selesai. Berbeda dengan Raja yang bisa memperoleh kursi kekuasaannya cukup dari warisan moyangnya. Oleh karena itu, secara prinsip, seorang kepala negara/daerah, tidak boleh mengabaikan suara rakyat yang telah memilihnya. Mereka telah disumpah setia pada janji untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Mengapa kritik harus dijamin? Karena ketiadaan jaminan dari manusia untuk selalu menepati janjinya. Selalu ada jarak antara janji dan bukti. Bayangkan, ketika seorang kepala negara yang harus mengelola ribuan triliun dana rakyat untuk pembangunan, alangkah gawatnya jika ia bisa berlaku semaunya tanpa ada kontrol ketat dari orang lain.
Dalam negara berkedaulatan rakyat, warga negara berkedudukan sederajat di depan hukum. Kemelekatan pada jabatan, solidaritas, dan pembelaan pada korp, harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang sarat dengan prinsip keadilan dan kesamaan derajat di depan hukum. Oleh karena itu, tidak boleh ada orang atau kelompok yang mendapatkan impunitas karena jabatan dan kedudukannya.
Ruang yang Tercemari
Akhir-akhir ini, anugerah ruang kebebasan berekspresi yang kita miliki seolah tercemari oleh bau apek yang timbul dari sikap para penyelenggara negara yang terkesan kurang bijaksana dalam menerima kritik. Ketika kritikan warga dan media dibalas dengan kata-kata "Ndasmu", "Kampungan", "Bacot", "Anjing Menggonggong", bahkan dengan kiriman bangkai kepala tikus dan kepala babi, maka sejatinya kita sedang memadamkan api yang sedang menerangi jalan gelap menuju demokrasi.
Segeralah menyadari, bahwa segala keistimewaan yang sedang dinikmati oleh para penikmat kursi kekuasaan itu berbatas. Begitu saatnya tiba, kalian akan kembali menjadi rakyat biasa. Ketika itu, tidak ada lagi kerumunan orang-orang dekat yang datang dengan berbagai jurus jilatan dan sumpah setia. Ah... apalah enaknya disuguhi janji kesetiaan yang sarat kepalsuan.
Lebih baik, segeralah mengasah batin dan telinga agar lebih peka terhadap suara rakyat yang mengkritik Anda. Yakinlah, kritik warga dan awak media itu memang bising di telinga, tetapi bisa menyelamatkan Anda. Sebaliknya, bisikan dan jilatan berbisa itu terasa enak rasanya, namun bisa menjerumuskan Anda ke jurang yang sangat dalam di masa yang akan datang.
Mari kita bersihkan ruang kebebasan berekspresi itu dari bau anyir bangkai tikus dan kepala babi.***
Artikel Terkait
Mengapa Ada Konflik (atas nama) Agama
Beragama: Memperebutkan Klaim Kebenaran vs Menghormati Perbedaan
Kita dan Konglomerat Sederajat
Agama dan Kebahagiaan
Adakah Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Tahanan Rentan?
Beragama dengan Nalar Segar
UU TNI dan Bahaya Delegitimasi Kekuasaan: Lampu Kuning untuk Pemerintahan Prabowo
Premanisme Berkedok THR, Ancaman bagi Industri dan Stabilitas Nasional