HUKAMANEWS - Agama, yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan kebajikan, justru kerap menjadi alasan pecahnya konflik. Mengapa ajaran yang mengedepankan cinta kasih dan persaudaraan berubah menjadi alat pemecah belah?
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso, Tangerang Selatan, dalam tulisannya mencoba menelusuri akar permasalahan konflik berbasis agama, dari sejarah ekspansi penganutnya hingga cara pengajaran yang membentuk mentalitas konfrontatif. Apakah ini murni persoalan aqidah, atau ada agenda lain yang terselubung di baliknya? Simak catatan lengkapnya.
***
DALAM sebuah acara diskusi bertema "Memperkuat Mediasi, Memperkokoh Kerukunan" yang diselenggarakan oleh PUSAD PARAMADINA dan KOMNAS HAM pada 3 Februari 2025 di Kampus Universitas Paramadina, seorang teman bertanya, "Kenapa harus ada mediasi bagi para pemeluk agama? Bukankah mereka adalah orang-orang baik yang selalu berjuang untuk mewujudkan kebaikan bagi sesama?" Pertanyaan itu diajukan di tengah acara diskusi.
Saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu, namun saya memakluminya. Pertanyaan tersebut diajukan dengan tulus oleh seorang teman yang, sepengetahuan saya, belum memutuskan agama yang akan dianutnya. Ia masih terus melakukan observasi dengan cermat, belajar memahami berbagai ajaran agama, serta melihat langsung praktik keseharian para penganut agama-agama besar di Indonesia.
Baca Juga: Hening Parlan, Merajut Keimanan dan Keberlanjutan Lingkungan untuk Selamatkan Bumi
Beruntung, PUSAD PARAMADINA telah menyiapkan TOR acara yang menjelaskan dengan gamblang latar belakang diskusi tentang mediasi tersebut. Bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam memperkokoh kerukunan. Salah satunya adalah konflik antar-komunitas penganut agama yang sering memunculkan kekerasan.
Contoh terburuknya adalah konflik yang dipicu oleh penolakan terhadap aliran tertentu, seperti Ahmadiyah atau Syiah, yang memakan korban jiwa. Selain itu, ketegangan terkait pendirian rumah ibadah juga sering memicu konflik. Konflik-konflik semacam ini tentu mengganggu kerukunan antarwarga. Oleh karena itu, PUSAD PARAMADINA berinisiatif untuk membangun pendekatan mediasi yang dapat digunakan dalam menangani konflik-konflik berbasis agama.
Mengapa Harus Berkonflik?
Pertanyaan sederhana ini juga sering muncul di hati saya: Mengapa orang-orang beragama harus berkonflik? Padahal, semua agama yang saya kenal selalu mengajarkan kebaikan. Semua ajaran agama bermuara pada tujuan yang sama, yaitu mewujudkan kebaikan bagi kehidupan manusia di bumi ini.
Ajaran-ajaran yang paling banyak disyiarkan oleh semua agama berkisar pada kejujuran, menepati janji, berbaik sangka, menyantuni anak yatim, berpihak pada orang lemah, tidak mengambil barang atau uang yang bukan miliknya, bertanggung jawab atas amanah, tidak berzina, bertanggung jawab kepada keluarga, menjaga kelestarian lingkungan, serta mematuhi aturan hukum dan pranata sosial.
Baca Juga: Kebakaran Misterius di Gedung Kementerian ATR/BPN, Budaya Korupsi, dan Politik Sandera
Itulah sisi kemuliaan ajaran agama yang biasa diajarkan di sekolah, tempat ibadah, forum pengajian, dan berbagai acara keagamaan. Namun, mengapa dalam praktiknya bisa terbalik? Seorang penganut agama bisa berubah menjadi pribadi yang mudah marah, penuh kebencian, dan bahkan di era media sosial ini, seseorang yang identik dengan atribut agama, tetapi bisa menyebarkan informasi bohong tanpa merasa bersalah. Padahal, ajaran agama sangat jelas aturannya bahwa menyebarkan informasi yang mengandung fitnah adalah kesalahan besar, bahkan lebih kejam daripada pembunuhan.
Perilaku yang saya sebutkan di atas mungkin terjadi pada skala kecil. Meskipun hal itu bisa memicu konflik, skala konfliknya tetap kecil dan mungkin hanya terjadi antar individu. Namun, konflik yang berskala besar bisa dipicu oleh persoalan yang lebih besar, seperti penyerobotan lahan oleh korporasi. Tanah adalah sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan bagi warga. Konflik antar suporter sepak bola pun bisa membesar karena fanatisme yang berlebihan.