Mahfud juga menegaskan bahwa KPRP tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus hukum individual yang melibatkan anggota Polri.
Fokus utama komisi ini adalah membangun kerangka kebijakan agar praktik kepolisian kembali sejalan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Diagnosis Mahfud MD: Polri Bukan Kurang Aturan, Tapi Salah Praktik
Dalam analogi yang cukup tajam, Mahfud MD mengibaratkan Polri sebagai seorang pasien yang sebenarnya sudah memiliki resep pengobatan lengkap.
Masalahnya, resep tersebut tidak diminum secara konsisten.
Mahfud menyebut masih ada “penyakit kronis” yang terus muncul dan merusak kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Penyakit tersebut antara lain praktik pemerasan, penyalahgunaan wewenang, gaya hidup hedonis, budaya flexing di media sosial, hingga dugaan kolaborasi dengan jaringan kejahatan.
Fenomena ini, menurut Mahfud, bukanlah masalah individu semata.
Ia melihatnya sebagai gejala sistemik yang muncul ketika pengawasan internal melemah dan kepemimpinan tidak memberi teladan.
“Polri mulai bermasalah ketika politik masuk ke dalamnya. Kedua, soal leadership. Kalau pimpinan bersih dan tidak terkontaminasi politik, ke bawah pasti ikut baik,” tegasnya.
Pernyataan ini menempatkan kepemimpinan sebagai kunci utama keberhasilan atau kegagalan reformasi Polri.
Dalam konteks organisasi besar seperti Polri, sikap pimpinan bukan hanya menentukan arah kebijakan, tetapi juga membentuk budaya kerja.
Intervensi Politik dan Risiko Politisasi Penegakan Hukum
Isu intervensi politik di Polri bukan hal baru dalam diskursus hukum dan demokrasi Indonesia.