BTT sendiri merupakan instrumen fiskal yang digunakan pemerintah daerah untuk merespons kondisi darurat yang tidak terprediksi dalam perencanaan awal.
Bobby menjelaskan bahwa BTT Pemprov Sumut sebelumnya telah digunakan untuk pembayaran bonus atlet Pekan Olahraga Nasional dan Pekan Paralimpik Nasional 2024.
Menurutnya, sebagian bonus atlet PON dan Peparnas memang belum teralokasi secara penuh dalam APBD awal, sehingga membutuhkan dukungan BTT.
Selain itu, BTT juga dimanfaatkan untuk perbaikan infrastruktur darurat, seperti jembatan putus di Kabupaten Nias Barat yang tidak masuk perencanaan anggaran reguler.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa fleksibilitas anggaran menjadi kebutuhan nyata di daerah rawan bencana seperti Sumatera Utara.
Secara geografis, Sumut memiliki tingkat kerentanan bencana yang tinggi akibat kombinasi faktor cuaca ekstrem, kondisi topografi, dan kepadatan penduduk di wilayah rawan banjir.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam beberapa tahun terakhir mencatat Sumut sebagai salah satu provinsi dengan kejadian banjir dan longsor tertinggi di Indonesia.
Dalam konteks ini, penempatan dana pada BTT justru dipandang sebagian analis kebijakan publik sebagai strategi mitigasi fiskal agar pemerintah daerah dapat bergerak cepat saat bencana terjadi.
Meski demikian, transparansi dan komunikasi publik tetap menjadi kunci agar kebijakan anggaran tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
Isu anggaran bencana Sumut 2025 menunjukkan pentingnya literasi anggaran publik agar masyarakat memahami perbedaan antara efisiensi dan pemangkasan.
Penjelasan Bobby Nasution menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak menghapus anggaran kebencanaan, melainkan mengonsolidasikannya dalam skema belanja yang lebih adaptif.
Ke depan, publik berharap pengelolaan anggaran bencana Sumatera Utara tetap transparan, responsif, dan berpihak pada keselamatan warga di tengah ancaman bencana yang semakin kompleks.***