“Bukan cuma uang yang hilang, tapi kepercayaan dan momen sekali seumur hidup,” tuturnya dengan suara bergetar.
Kasus wedding organizer Ayu Puspita juga membuka kembali diskusi lama tentang minimnya regulasi ketat di industri jasa pernikahan.
Berbeda dengan sektor keuangan atau properti, wedding organizer kerap beroperasi tanpa pengawasan standar, meski mengelola dana besar dari konsumen.
Pengamat hukum menilai, kasus ini berpotensi dijerat dengan pasal penipuan dan penggelapan berlapis.
Jika terbukti ada niat sejak awal untuk menipu, ancaman hukuman pidana bisa menjadi maksimal sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Di sisi lain, aparat kepolisian masih mendalami kemungkinan adanya korban tambahan.
Penyidik membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang merasa pernah menggunakan jasa wedding organizer Ayu Puspita namun belum melapor.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi calon pengantin agar lebih cermat memilih penyedia jasa pernikahan.
Transparansi kontrak, rekam jejak usaha, serta pola pembayaran bertahap dinilai penting untuk meminimalkan risiko penipuan serupa.
Lebih luas lagi, perkara ini menunjukkan bahwa mimpi pernikahan yang ideal dapat berubah menjadi trauma kolektif ketika kepercayaan disalahgunakan.
Penegakan hukum yang tegas diharapkan tidak hanya memberi keadilan bagi para korban, tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap industri wedding organizer di Indonesia.***