Kasus korupsi Indofarma memperlihatkan tantangan klasik BUMN: birokrasi panjang, kelemahan pengawasan, dan kerap terjebak konflik kepentingan dalam proyek ekspansi.
Ada tiga sorotan publik pasca putusan kasasi ini:
- Era pandemi membuka peluang penyelewengan — anggaran besar, kecepatan eksekusi, akurasi pengawasan tidak seimbang.
- Kinerja BUMN farmasi dipertanyakan — saat publik butuh obat murah, data suplai dan pengadaan justru bermasalah.
- Restorasi governance menjadi tuntutan — bukan hanya hukuman, tetapi reformasi struktural.
Ekonom kebijakan publik melihat kerugian Rp 377 miliar ini bukan sekadar angka.
Nilai itu setara pembangunan ± 120 puskesmas pembantu, atau pengadaan ± 3 juta multivitamin subsidi untuk masyarakat miskin.
Kasus ini memperpanjang daftar korupsi korporasi BUMN setelah Jiwasraya, Garuda Indonesia, ASABRI, dan lainnya.
Baca Juga: Skor Integritas Anjlok! 500 Pengusaha Terjerat Korupsi pada Triwulan III 2025, Ini Penyebabnya
Masyarakat khawatir bahwa corporate crime mulai bergeser dari individual menjadi sistemik.
Apa Dampaknya untuk Publik dan Industri Kesehatan?
Indofarma seharusnya menjadi lokomotif produksi obat generik terjangkau.
Namun, publik menilai kasus ini memukul kepercayaan, terutama bagi keluarga berpenghasilan rendah yang mengandalkan obat bersubsidi.
Tiga dampak langsung yang dinilai oleh analis:
Investor menahan ekspansi di industri farmasi negara.
Kepercayaan terhadap obat generik lokal terluka.