Namun sejauh ini, Indonesia masih menyatakan mampu menangani secara mandiri berkat dukungan anggaran, sumber daya nasional, dan sistem penanggulangan bencana yang telah meningkat sejak era reformasi kebencanaan.
Kebijakan penambahan anggaran darurat bencana bukan hal baru, mengingat perubahan iklim meningkatkan intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Data BNPB mencatat lebih dari 3.500 kejadian bencana setiap tahun, sebagian besar berupa banjir, longsor, dan cuaca ekstrem.
Bagi sejumlah pengamat, langkah cepat pemerintah menyiapkan backup anggaran dipandang sebagai sinyal konsistensi kebijakan tanggap darurat dan kesiapsiagaan nasional.
Di sisi lain, masyarakat di media sosial menyambut positif keterlibatan penuh TNI–Polri karena dianggap mempercepat akses bantuan ke daerah terisolasi, terutama di wilayah Sumatera Barat yang banyak memiliki kontur bertebing dan akses rawan putus.
Namun opini publik juga mendorong transparansi penggunaan dana bencana, terutama setelah masa rekonstruksi.
Akuntabilitas menjadi isu penting mengingat pengalaman sejumlah daerah sebelumnya yang menghadapi polemik pasca-bencana.
Penanganan di Aceh, Sumut, dan Sumbar menjadi ujian koordinasi antara pusat, daerah, dan aparat lapangan. Kebijakan penambahan anggaran menunjukkan negara hadir pada saat paling genting.
Namun keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan dana, tetapi juga kecepatan, konsistensi distribusi, dan transparansi pelaporan.
Masyarakat berharap keterlibatan TNI–Polri tidak hanya mempercepat penyelamatan, tetapi juga memperkuat ketahanan kebencanaan di masa mendatang.
Peningkatan literasi mitigasi, kesiapan logistik desa, dan kebijakan pembangunan berbasis lingkungan menjadi isu lanjutan yang patut diperkuat.
Pada akhirnya, penanganan bencana adalah investasi jangka panjang untuk keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan.
Kolaborasi pemerintah, komunitas, relawan, dan publik menjadi kunci untuk menghadapi musim ekstrem berikutnya.***