Para pedagang berharap pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih realistis, termasuk opsi legalisasi terbatas atau pemberlakuan kuota (larangan terbatas/lartas) agar perdagangan tetap terkendali dan pemasukan negara dari pajak ikut meningkat.
Rifai menegaskan bahwa para pelaku usaha bersedia membayar pajak jika pemerintah membuka ruang legal bagi aktivitas thrifting, sebagaimana yang diterapkan di sejumlah negara maju.
Narasi ini memperlihatkan bahwa pedagang tidak menolak penertiban, tetapi meminta kebijakan yang adil dan berpihak pada keberlangsungan usaha kecil.
Baca Juga: Kondisi SMAN 72 Pascaledakan Makin Pulih, tapi Kenapa Aparat Masih Ketat Berjaga? Ini Faktanya!
Menkeu Purbaya: Penguatan Industri Domestik Harus Jadi Prioritas
Sebelumnya, Menkeu Purbaya menegaskan komitmennya menutup peredaran pakaian bekas ilegal sebagai bagian dari upaya besar memperkuat industri tekstil nasional.
Menurutnya, pasar Indonesia tak boleh terus dibanjiri produk ilegal yang berpotensi mematikan kesempatan kerja dalam negeri.
Purbaya menegaskan bahwa pembangunan basis industri domestik yang kuat merupakan syarat utama agar lapangan kerja lokal bisa hidup dan daya beli masyarakat meningkat.
Meski memahami bahwa banyak pedagang menggantungkan hidup pada thrifting, ia menekankan bahwa pemerintah harus berpikir jangka panjang, terutama untuk keberlanjutan sektor tekstil dan garmen lokal.
Dari sudut pandang pemerintah, thrifting bukan sekadar urusan barang bekas, tetapi berhubungan langsung dengan stabilitas industri yang menyerap jutaan tenaga kerja formal.
Baca Juga: Tarif Listrik PLN November–Desember 2025 Tetap, Pemerintah Beri Diskon 50 Persen Tambah Daya
Jalan Tengah Diperlukan agar Industri Lokal dan UMKM Sama-Sama Bertahan
Jika melihat data dan dinamika di lapangan, konflik antara larangan thrifting dan nasib pedagang kecil sebenarnya bukan zero-sum game.
Pakar ekonomi mengemukakan bahwa industri tekstil Indonesia bisa tumbuh tanpa harus mematikan ekosistem thrifting, selama ada regulasi yang proporsional dan berbasis data.
Banjirnya 28 ribu kontainer barang tekstil ilegal yang bukan pakaian bekas menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya lebih kompleks: mulai dari lemahnya pengawasan impor, tingginya biaya produksi lokal, hingga minimnya inovasi merek dalam negeri yang mampu bersaing secara mode dan harga.