- Pencarian identitas diri pada usia remaja
- Rasa terpinggirkan atau tidak diterima lingkungan sosial
- Rendahnya literasi digital dan pemahaman keagamaan
Faktor-faktor ini membuat anak lebih mudah terjebak dalam jebakan propaganda, terutama ketika narasi ekstremisme didistribusikan melalui konten hiburan yang menyamar sebagai aktivitas normal.
Kenaikan Kasus Terus Terjadi: Rekrutmen Lewat Dunia Maya Kian Agresif
Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, mengungkap bahwa terjadi lonjakan besar dalam jumlah anak yang direkrut.
Baca Juga: KPK Geledah Fakta Baru Korupsi Lahan Whoosh, Dugaan Mark Up Makin Panas, Saksi Kunci Mulai Bicara
Pada periode 2011–2017, total hanya sekitar 17 anak yang berhasil diamankan sebagai korban rekrutmen.
Namun, sejak akhir 2024 hingga 2025, angkanya melonjak menjadi 110 anak.
Ia menyebut proses rekrutmen daring menjadi sangat masif karena pelaku memanfaatkan anonimitas, akses global, dan algoritma internet untuk memperluas jangkauan mereka tanpa terdeteksi.
Upaya Pemerintah: Deteksi Dini dari Keluarga Menjadi Kunci
Polri saat ini menggencarkan kolaborasi dengan berbagai kementerian dan lembaga untuk memutus rantai rekrutmen anak di dunia maya.
Namun upaya pertama dan paling efektif tetap harus dimulai dari rumah.
Mayndra menegaskan pentingnya kontrol, komunikasi, dan pendampingan orang tua dalam aktivitas digital anak.