Dari total biaya tersebut, 75 persen dibiayai oleh pinjaman CDB, sedangkan 25 persen sisanya berasal dari modal gabungan pemegang saham: PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%).
Kini, pemerintah Indonesia dikabarkan tengah bernegosiasi untuk memperpanjang tenor pembayaran utang dari 40 tahun menjadi 60 tahun.
Momentum Evaluasi dan Perbaikan Tata Kelola Proyek
Polemik Whoosh kini menjadi ujian bagi transparansi dan tata kelola proyek nasional.
Banyak pengamat menilai, kegagalan perencanaan seperti ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar setiap proyek raksasa ke depan dilandasi dengan kajian mendalam, proyeksi realistis, dan akuntabilitas publik yang kuat.
Khusus bagi masyarakat Bandung dan Jakarta, polemik ini juga memunculkan perdebatan soal efektivitas penggunaan Whoosh dalam aktivitas harian, terutama dibandingkan moda transportasi lain seperti kereta reguler, mobil pribadi, atau travel.
Pemerintah pun diharapkan tidak hanya fokus pada penyelesaian utang, tetapi juga pada optimalisasi manfaat ekonomi lokal dari keberadaan Whoosh, seperti pariwisata, investasi daerah, dan lapangan kerja.
Kasus Whoosh bukan sekadar soal utang, tapi tentang tanggung jawab perencanaan dan transparansi publik.
Kritik ICW membuka ruang evaluasi terhadap pola pembangunan yang selama ini lebih mengejar pencitraan proyek besar dibanding kajian keberlanjutan.
Kini, bola ada di tangan pemerintah: apakah berani membuka semua dokumen kajian proyek Whoosh atau tetap menutupinya atas nama stabilitas politik dan investasi.
Satu hal yang pasti, publik berhak tahu bagaimana uang rakyat dikelola, apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah masa depan keuangan negara.***