“Dalam dua minggu ke depan kami menargetkan tiga bulan lah, tiga bulan tuh sudah ada produknya,” ujar Mahfud.
Tenggat waktu yang ketat ini disambut beragam reaksi publik.
Sebagian menilai langkah Mahfud sangat diperlukan agar reformasi tidak kembali menjadi wacana tanpa penyelesaian, seperti yang beberapa kali terjadi sebelumnya.
Namun sebagian lainnya mempertanyakan apakah tiga bulan cukup untuk membenahi masalah struktural Polri yang sudah berlarut-larut.
Partisipasi Publik Jadi Pondasi Reformasi Polri
Mahfud menegaskan bahwa reformasi Polri bukan pekerjaan internal semata, melainkan membutuhkan pengawasan dan masukan dari publik.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Pembatasan PUBG Usai Ledakan SMAN 72 Jakarta, DKI Beri Dukungan Penuh
Ia menyatakan rencana untuk mulai membuka kanal partisipasi masyarakat dalam dua hingga tiga minggu mendatang.
“Kami akan mengundang partisipasi masyarakat (dalam) dua sampai tiga minggu ke depan,” katanya.
Konteks ini menarik karena tingkat kepercayaan publik terhadap Polri dalam beberapa survei terakhir memang fluktuatif.
Misalnya, lembaga survei nasional dalam beberapa tahun terakhir mencatat bahwa kepercayaan publik terhadap Polri cenderung turun saat terjadi kasus besar seperti tragedi Kanjuruhan, kasus Sambo, atau pemerasan oleh oknum penyidik.
Dengan membuka ruang partisipasi publik, tim reformasi ingin memastikan bahwa masyarakat tidak hanya mengkritik, tetapi ikut memberi solusi yang bisa dijalankan.
Reformasi Kolaboratif, Bukan Konfrontatif
Mahfud menampik anggapan bahwa tim reformasi hadir sebagai lawan Polri.
“Tim ini tidak datang sebagai musuh,” tegasnya.
Menurut Mahfud, pendekatan konfrontatif hanya akan membuat perubahan berjalan stagnan karena resistensi dari internal institusi.