HUKAMANEWS – Keputusan pemerintah untuk menetapkan Gus Dur dan Soeharto sebagai penerima gelar pahlawan nasional mendapat dukungan terbuka dari Partai Demokrat.
Partai berlambang bintang mercy itu menilai pemberian gelar pahlawan nasional kepada para tokoh pendahulu bangsa menjadi momentum untuk menyatukan kembali narasi sejarah yang kerap terpecah.
Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menyebut kebijakan gelar pahlawan nasional kali ini penting untuk membangun kedewasaan bangsa dalam melihat perjalanan para pemimpin secara utuh.
Demokrat Sebut Prabowo Ambil Langkah Rekonsiliatif
Partai Demokrat menegaskan bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur dan Soeharto merupakan bentuk konsolidasi sejarah yang layak diapresiasi.
AHY menilai kedua tokoh tersebut telah memberikan kontribusi besar bagi perjalanan Indonesia, meski berasal dari era dan latar politik yang berbeda.
Ia menekankan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak ragu menghormati pendahulunya, termasuk mengambil pelajaran dari kelebihan maupun kekurangannya.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pendahulunya. Gus Dur dan Pak Harto telah memberikan sumbangsih luar biasa bagi Indonesia,” ujar AHY dalam keterangan resmi.
Baca Juga: Gamer Mulai Waswas, Kelangkaan GDDR7 Bisa Ganggu Peluncuran GeForce RTX 50 Super
Dalam pernyataannya, AHY mengingatkan bahwa kebijakan serupa pernah diambil Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soekarno pada 2012.
Keputusan itu sempat memicu pro dan kontra, namun dianggap sebagai langkah penting untuk melengkapi rekonsiliasi sejarah setelah puluhan tahun ketegangan politik.
Dengan konteks tersebut, AHY menilai keputusan pemerintah kini memiliki kesinambungan yang sejalan dengan upaya memperkuat persatuan kebangsaan.
Di ruang digital, dukungan dan kritik terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur dan Soeharto kembali mencuat.
Sebagian warganet melihat kebijakan ini sebagai upaya merawat ingatan kolektif yang lebih adil, sementara sebagian lainnya mempertanyakan sisi kontroversial masa lalu Soeharto.