HUKAMANEWS – Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional akhirnya resmi dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan, 10 November 2025, memicu gelombang reaksi publik, dari dukungan kuat hingga kritik bernada skeptis.
Penganugerahan gelar pahlawan untuk Soeharto menjadi momentum historis yang selama puluhan tahun terbelah antara narasi keberhasilan pembangunan dan catatan pelanggaran hak asasi manusia.
Keputusan ini juga memperlihatkan bagaimana politik memori kembali menjadi arena penting dalam pemerintahan Prabowo, terutama saat legitimasi sejarah dan simbol kebangsaan mendapat perhatian publik yang semakin besar.
Baca Juga: Gamer Mulai Waswas, Kelangkaan GDDR7 Bisa Ganggu Peluncuran GeForce RTX 50 Super
Presiden Prabowo Nobatkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional
Presiden Prabowo Subianto secara resmi menjadwalkan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengonfirmasi bahwa Soeharto merupakan satu dari sepuluh tokoh yang mendapatkan gelar tahun ini.
“Besok, insyaallah akan diumumkan. Kurang lebih 10 nama. (Soeharto) Ya, masuk,” ujar Prasetyo seusai rapat terbatas di kediaman Prabowo di Kartanegara, Jakarta Selatan, Minggu 9 November 2025.
Ia menegaskan bahwa proses penetapan telah melalui prosedur resmi Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) yang dipimpin Menteri Kebudayaan Fadli Zon, termasuk menerima masukan dari pimpinan DPR dan MPR.
Prasetyo menyebut, keputusan ini merupakan bagian dari “upaya negara menghormati para pendahulu yang memiliki jasa luar biasa bagi bangsa.”
Dukungan Tinggi Publik Jadi Faktor Penguat
Salah satu faktor yang memperkuat dorongan pemberian gelar ini adalah temuan survei INSS yang menunjukkan 84 persen publik menyetujui Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.
Tingginya dukungan publik dapat dipahami dari dua konteks:
1. Memori positif era Orde Baru, terutama stabilitas ekonomi, swasembada pangan, dan pembangunan infrastruktur dasar.
2. Generasi baru yang tidak punya memori langsung terhadap represi politik, sehingga menilai Soeharto lebih melalui capaian ekonominya.
Artikel Terkait
Saat Ledakan Menghentikan Shalat Jumat di SMAN 72 Jakarta, KemenHAM Gercep Dampingi Koordinasi Lintas Lembaga untuk Pemulihan Korban
Kapolri Tekankan Ledakan SMAN 72 sebagai Peringatan Serius, Investigasi Motif Pelaku Dipercepat
Antasari Azhar Wafat, Jimly Asshiddiqie Ungkap Figur Tegas hingga Fakta Mengejutkan soal Era KPK yang Penuh Tekanan dan Intrik
Perbandingan Xiaomi 15T vs 15T Pro, Mana yang Lebih Cocok untuk Kamu?
Pemprov DKI Hapus Denda Pajak Kendaraan, Ini Cara Cepat Bayar Lewat Ponsel