Purbaya mengungkap, dalam tiga tahun terakhir KPK mencatat berbagai kasus yang melibatkan pejabat daerah.
Mulai dari suap audit BPK di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi, hingga dugaan korupsi proyek BUMD di Sumatera Selatan.
“Artinya, reformasi tata kelola ini belum selesai,” ujar Menkeu.
Fakta ini memperlihatkan bahwa meskipun sistem pengawasan dan transparansi sudah diperkuat, praktik penyimpangan masih sering terjadi, terutama di daerah yang memiliki otonomi fiskal tinggi.
Tantangan terbesar kini bukan hanya memperkuat sistem, tapi juga membangun budaya integritas di semua level birokrasi.
Tantangan Antikorupsi di Era Desentralisasi
Dalam konteks yang lebih luas, penguatan tata kelola publik menjadi penting karena korupsi daerah berdampak langsung pada efektivitas program nasional, mulai dari penyaluran bansos, infrastruktur, hingga pengendalian inflasi.
Sejumlah pakar menilai, desentralisasi fiskal pasca reformasi memang membuka ruang bagi inovasi daerah, namun di sisi lain juga menimbulkan risiko baru: “korupsi berbasis otonomi”, di mana pejabat lokal memiliki keleluasaan besar mengatur anggaran tanpa kontrol ketat.
KPK sendiri sejak 2020 telah memperluas pendekatan pencegahan melalui SPI dan Monitoring Center for Prevention (MCP) yang digunakan untuk memantau potensi penyimpangan di 500 lebih pemerintah daerah.
Namun efektivitasnya sangat bergantung pada komitmen kepala daerah dan lembaga pengawas lokal.
“Kalau tata kelola tidak dibenahi, kasus seperti Bekasi dan Sorong akan terus berulang,” ujar seorang analis kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menyoroti pentingnya pengawasan terintegrasi antar lembaga.
Menuju Kolaborasi Antarlembaga dan Masyarakat
KPK berharap kolaborasi lintas kementerian dan lembaga bisa terus diperkuat, termasuk dengan Kemenkeu, BPKP, dan Ombudsman, untuk membangun sistem yang lebih transparan.