“Nanti setelah investigasi selesai, kami akan evaluasi hasilnya bersama Kementerian ESDM, khususnya dengan inspektur tambang,” ujar Tony.
Ia menambahkan, pihaknya belum dapat memastikan kapan operasional tambang Grasberg akan kembali berjalan.
Meski demikian, Freeport menargetkan pemulihan kegiatan produksi dapat dimulai secara bertahap pada paruh pertama 2026, setelah seluruh aspek keselamatan dan perizinan dinyatakan aman.
Peristiwa ini bukan sekadar tragedi, tetapi juga menjadi pengingat penting bagi industri tambang nasional.
Tragedi di Grasberg memperlihatkan betapa krusialnya penerapan standar keselamatan internasional, terutama di wilayah kerja bawah tanah yang berisiko tinggi.
Pengamat pertambangan dari Universitas Gadjah Mada, Agus Sugiharto, menilai audit total yang dilakukan pemerintah merupakan langkah tepat dan mendesak.
“Tambang bawah tanah membutuhkan pengawasan real-time berbasis teknologi, misalnya sensor pergerakan tanah atau sistem prediksi dini longsor. Ini saatnya Freeport dan pemerintah memperkuat investasi di bidang keselamatan,” ujarnya.
Selain aspek teknis, banyak pihak juga menyoroti pentingnya transparansi dalam hasil audit.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan menyerukan agar laporan audit nantinya dipublikasikan ke publik, demi memastikan akuntabilitas Freeport sebagai perusahaan tambang besar yang beroperasi di tanah Papua.
Bagi masyarakat sekitar tambang di Mimika, Papua Tengah, penghentian operasi sementara berdampak pada roda ekonomi lokal.
Ribuan tenaga kerja kontrak dan vendor pendukung kini menunggu kepastian kapan tambang kembali beroperasi. Pemerintah daerah pun berharap audit ini tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
Sejumlah warganet di media sosial turut menyoroti pentingnya transparansi Freeport dan perlindungan pekerja lokal, menekankan bahwa keselamatan harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar target produksi.
Tragedi Grasberg menjadi pelajaran mahal bagi dunia tambang Indonesia.